Makalah Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI)
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
“Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Pemikiran Modern
Dalam Islam (PMDI) Semester 5”
Disusun Oleh:
Kelompok
I
Ahmad Marzuki 12350007
Ahmad Romadhoni 13350004
Dosen Pembimbing
DR. Abdul Razak
JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2015
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan mengenai pengertian
Islamisasi Ilmu pengetahuan, tujuan dari Islamisasi Ilmu Pengetahuan,
kontroversi dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan, kedudukan Epistimologi dalam
Islamisasi Ilmu Pengetahuan, serta Ruang Lingkup Epistemologi dalam
pengembangan Ilmu Barat dan Islam. Kesimpulan dari makalah ini adalah pada
dasarnya islamisasi ilmu pengetahuam merujuk pada usaha memurnikan dan
melepaskan konstruksi ilmu pengetahuan dari pemikiran-pemikiran yang
bertentangan dengan islam.
Kata Kunci: Islamisasi, Ilmu Pengetahuan, Epistemologi
A.
Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasai ilmu pengetahuan terdiri dari tiga kata
yaitu, kata Islamisasi, ilmu dan pengetahuan. Di sini penulis
akan menjelaskan satu persatu dari ketiga kata tersebut. Islamisasi; artinya adalah pengIslaman, pengIslaman dunia, bisa juga usaha mengIslamkan
dunia.[1]
Sedangkan ilmu adalah merupakan cara
berfikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat
diandalkan. Ilmu merupakan produk dari proses berfikir menurut langkah-langkah
tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berfikir ilmiah.[2] Dan yang terakhir adalah pengetahuan. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan
disamakan artinya dengan ilmu. Ilmu adalah pengetahuan[3]. Akan tetapi dari berbagai
referensi yang penulis baca bahwa ilmu dan pengetahuan tidaklah sama persis,
dimana ilmu lebih luas cakupannya, karna pengetahuan belum pasti dikatakan ilmu
sedangkan pengetahuan sudah barang tentu dikatakan ilmu. Dari pengertian di atas
jadi yang dikatakan Islamisasi pengetahuan adalah; berarti mengIslamkan segala
ilmu pengetahuan.
Pengertian di atas merupakan pengertian kata perkata
dari Islamisasi ilmu pengetahuan, sedangkan pengertian dari gabungan ketiga
kata tersebut; sebagaimana menurut AI-Faruqi dalam bukunya Budi
Handrianto; menyebutkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowladge) merupakan usaha untuk mengacukan kembali
ilmu, yaitu untuk mendefenisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali
argument dan rasionalisasi, menilai kembali tujuan dan melakukannya secara yang
membolehkan disiplin itu memperkaya visi dan perjuangan Islam. Islamisasi ilmu
juga merupakan sebagai usaha yaitu memberikan defenisi baru, mengatur
data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data,
mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali
tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga
disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam. [4]
Islamisasi pengetahuan kata al-Faruqi
adalah solusi terhadap dualisme sistem pendidikan kaum Muslimin saat ini.
Baginya dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan
paradigma Islam. Paradigma tersebut bukan imitasi dari Barat, bukan juga untuk
semata-mata memenuhi kebutuhan ekonomis dan pragmatis pelajar untuk ilmu
pengetahuan profesional, kemajuan pribadi atau pencapaian materi. Namun,
paradigma tersebut bukan diisi dengan sebuah misi, yang tidak lain adalah
menanamkan, menancapkan serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu.
Dapat disimpulkan bahwa mengIslamkan ilmu
pengetahuan modren adalah dengan cara menyusun dan membangun ulang sains
sastra, dan sains-sains pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang
konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga
mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam
apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya.
Al-Faruqi adalah orang yang pertama
menggagas Islamisasi ilmu pengetahuan. Ketajaman intelektual dan semangat
kritik ilmiyahnya, membawa ia sampai kepada kesimpulan bahwa ilmu-ilmu sosial
model barat menunjukkan kelemahan metodologi yang cukup mendasar, terutama bila
diterapkan untuk memahami kenyataan kehidupan sosial umat Islam yang memiliki
pandangan hidup yang sangat berbeda dari masyarakat Barat. Untuk mencapai
tujuan al-Faruqi mendirikan Himpunan Ilmu Sosial Muslim (The Asociation of Muslim Social
Scientists-AMSS) pada tahun 1972 dan
sekaligus menjadi presidennya yang pertama hingga 1918, melalui lembaga ini ia
berharap bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan terwujud.[5]
Setelah menyampaikan ide Islamisasinya pada tahun 1981,
al-Faruqi langsung mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus untuk
mengembangkan gagasan-gagasannya tentang proyek Islamisasi, yaitu International Institute of Islamic Though (IIIT),
merupakan lembaga internasional untuk pemikiran Islam, yang penyelenggaranya
adalah AMSS sendiri.
Sedangkan
Syed M. Naquib al-Attas Secara teoritis dan ideologis, mendefenisikan
islamisasi ilmu pengetahuan sebagai: pembebasan manusia dari tradisi
magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam)
dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan
dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap
hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa
terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya.[6]
Menurut
al-Attas ini, islamisasi ilmu pengetahuan terkait erat dengan pembebasan
manusia dari tujuan-tujuan hidup yang bersifat dunyawi semata, dan mendorong
manusia untuk melakukan semua aktivitas yang tidak terlepas dari tujuan ukhrawi.
Bagi al-Attas, pemisahan dunia dan akhirat dalam semua aktivitas manusia tidak
bisa diterima. Karena semua yang kita lakukan di dunia ini akan selalu terkait
dengan kehidupan kita di akhirat.
B.
Tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Tujuan
adalah hal yang sangat perlu dalam merumuskan sesuatu, karena tujuan merupakan
titik yang akan kita tuju dalam melakukan sesuatu, jadi tanpa adanya tujuan
maka akan sulit untuk melakukan perencanaan, langkah-langkah dan lain-lain.
Begitu juga dalam merumuskan Islamisasi ilmu pengetahuan, dimana ada beberapa
tujuan yang harus dicapai dalam menjalankan ide islamisasi ilmu pengetahuan
ini. Dalam menjalankan proses islamisasi ilmu pengetahuan ini ada beberapa
tujuan yaitu:
1.
Menguasai
disiplin ilmu modern
2.
Menguasai
warisan islam
3.
Menetapkan
relevansi khusus pada setiap bidang ilmu pengetahuan
4.
Mencari
jalan untuk sintesis kreatif antara warisan (islam) dan ilmu pengetahuan modern
5.
Membangun
pemikiran islam pada jalan yang mengarah pada kepatuhan pada hukum Tuhan.
Islamisasi juga membebaskan manusia dari sikap tunduk kepada keperluan
jasmaninya yang cendrung menzhalimi dirinya sendiri, karena sifat jasmani
adalah cendrung lalai terhadap hakikat dan asal muasal manusia. Dengan
demikian, islamisasi tidak lain adalah proses pengembalian kepada fitrah.
6.
Bahwa
didalam islamisasi ilmu pengetahuan terdapat pengakuan akan adanya hirarki atau
tingkatan-tingkatan ilmu pengetahuan
7.
Meletakkan
wahyu bukan saja sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan tetapi juga standar
tertinggi dalam menemukan kebenaran.[7]
Selanjutnya,
secara umum islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon
positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam
yang “terlalu” religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral
tanpa pemisahan di antaranya. Kegiatan al-Faruqi dalam masalah islamisasi
didorong oleh pendapatnya bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini sudah sekuler dan
jauh dari kerangka tauhid. Untuk itu dia menyusun kerangka teori, metode dan
langkah-langkah praktis menuju islamisasi ilmu pengetahuan. Sejalan dengan itu,
dia juga menyerukan adanya perombakan sistem pendidikan islam yang mengarah
kepada islamisasi ilmu pengetahuan dan terciptanya paradigma tauhid dalam
pengetahuan dan pendidikan.[8]
Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka
kerja dengan lima tujuan dalam rangka islamisasi ilmu, sebagai berikut:
1.
Penguasa
disiplin ilmu modern
2.
Penguasa
khazanah warisan islam
3.
Membangun
relevansi islam dengan masing-masing bidang ilmu modern dan khazanah warisan
islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern
4.
Memadukan
nilai-nilai dan khazanah warisan islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern
5.
Pengarahan
aliran pemikiran islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana
Allah SWT.[9]
C.
Kontroversi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Diskursus seputar Islamisasi ilmu
pengetahuan ini telah begitu lama menebarkan perdebatan penuh kontroversi di
kalangan umat Islam. Semenjak dicanangkannya sekitar 30 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang
pro maupun yang kontra terus bermunculan.
Satu pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme
(kebangkitan) Islam. Namun, di pihak lain menganggap bahwa gerakan "Islamisasi" hanya sebuah euphoria
sesaat untuk mengobati "sakit
hati" karena ketertinggalan mereka yang sangat jauh dari peradaban Barat,
sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan
sendirinya.
Rosnani Hashim membagi kelompok ini menjadi empat
golongan, yaitu:[10]
1.
Golongan yang sependapat dengan
gagasan ini secara teori dan konsepnya dan berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang
sejalan dengan maksud Islamisasi dalam
disiplin ilmu mereka.
2.
Golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori
dan konsep tetapi tidak mengusahakannya secara
praktis.
3.
Golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemooh,
mengejek dan mempermainkan gagasan ini.
4.
Golongan yang tidak mempunyai
pendirian terhadap isu ini. Mereka lebih suka mengikuti perkembangan yang dirintis
oleh sarjana lainnya atau pun mereka tidak memperdulikannya.
a)
Golongan Pro Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
Aktivitas golongan pertama mempunyai
peranan yang sangat penting dalam rangka mengokohkan dan memurnikan
kembali konsep Islamisasi ilmu ini walaupun mereka saling mengkritik ide satu
sama lain, tetapi itu dimaksudkan untuk merekonstruksinya bukan mendekontruksi.
Diantaranya adalah S. A. Ashraf yang
melakukan kritik terhadap al-Faruqi yang “ingin penyelidikan dilakukan
terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui subjek yang terlibat
dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkinkan.” Pada fikirannya, kompromi
merupakan sesuatu yang mustahil terhadap dua pandangan yang sama sekali berbeda. Tidak seharusnya bagi
sarjana muslim memulai dengan konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang
dirumuskan berdasarkan prinsip yang dinukil
dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Namun dalam pandangan Syed Hossein
Nasr, integrasi yang diinginkan al-Faruqi bukan saja sesuatu yang
mungkin tetapi juga perlu untuk dilakukan. Menurutnya, para pemikir muslim
seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi
juga melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak
sesuai dengan pandangan Islam dan kemudian
menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu.[11]
Gerakan Islamisasi ini juga mendapat dukungan dari Jaafar
Syeikh Idris, seorang ulama Sudan yang
pernah mengajar di Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi. Idris menyarankan
agar para cendikiawan muslim membawa pandangan Islam.[12]
Dan ketika slogan Islamisasi ilmu
pengetahuan menjadi sangat popular pada
tahun 1987, Syeikh Idris menulis sebuah artikel yang mengingatkan agar beberapa masalah filsafat dan metodologi yang serius
ditetapkan terlebih dahulu sebelum program Islamisasi yang berarti dapat
dilaksanakan. Ia mengajukan beberapa
pertanyaan sebagai panduan untuk menuju ke arah Islamisasi ilmu tersebut, Syeikh
Idris mempersoalkan tentang; 1) Apakah makna mengislamkan Ilmu?; 2) Apakah ilmu pengetahuan itu bersifat possible?;
3) Apakah semua ilmu pengetahuan itu
dipelajari atau sebagiannya bawaan sejak lahir?; 4) Apakah sumber-sumber ilmu pengetahuan itu?; 5) Apakah metode ilmiah itu?.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan
ini, maka jawaban-jawaban terhadapnya bisa lebih sistematis dibandingkan
penulis-penulis lainnya, termasuk Ismail Raji al-Faruqi. Dan dalam
pandangannya juga, ilmu pengetahuan masa kini adalah “ilmu pengetahuan yang berada
dalam kerangka filsafat ateis materialis yang berlaku di Barat”, yang
memungkinkan bagi umat Islam untuk mengislamkannya. Untuk itu Syeikh Idris mengusulkan
agar mengislamkan ilmu pengetahuan dengan meletakkannya di atas fondasi Islam
yang kuat, dan mempertahankan nilai-nilai Islam dalam pencarian ilmu
pengetahuan.[13]
Di Indonesia sendiri ada beberapa
tokoh yang mendukung Islamisasi ilmu pengetahuan, seperti AM. Saifuddin.
Menurutnya, Islamisasi adalah suatu keharusan bagi kebangkitan Islam, karena
sentral kemunduran umat dewasa ini adalah keringnya ilmu pengetahuan dan
tersingkirnya pada posisi yang rendah. Hal senada diungkapkan Hanna Djumhana
Bastaman, dosen psikologi UI Jakarta. Hanya saja beliau memperingatkan bahwa
gagasan ini merupakan proyek besar sehingga perlu kerjasama yang baik dan terbuka di antara para pakar
dari berbagai disiplin ilmu agar terwujud
sebuah sains yang berwajah Islami.[14]
b) Golongan Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Maraknya perkembangan pemikiran
seiring dengan lahirnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini, bukan
berarti semua umat Islam sepakat terhadap ide tersebut. Mereka percaya
bahwa semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang menjadi sumber utamanya adalah
Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan pelabelan Islam atau bukan
Islam pada segala ilmu.
Menurut Fazlur Rahman, ilmu
pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah didalam ilmu
pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalah gunakannya.[15]
Dan bahkan ia berkesimpulan bahwa “kita tidak perlu bersusah payah membuat
rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan islami. Lebih baik
kita memanfaatkan waktu, energi, dan uang untuk berkreasi”.[16]
Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas, “seperti
senjata dua sisi yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab,
ia sangat penting digunakan dan didapatkan secara benar.” Baik dan buruknya
ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya.
Abdul Salam, pemenang anugerah Nobel
fisika berpandangan bahwa “hanya ada satu ilmu universal yang problem-problem
dan modalitasnya adalah internasional dan tidak ada sesuatu yang dinamakan ilmu
Islam, seperti juga tidak ada ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen. Abdul
Salam menceraikan pandangan hidup Islam menjadi dasar metafisis kepada sains[17]
Senada dengan Abdul Salam, Pervez
Hoodbhoy, yang juga pernah meraih penghargaan Nobel, menyangsikan
keberadaan sains Barat, sains Islam, sains Yunani atau peradaban lain dan
berpandangan bahwa sains itu bersifat universal dan lintas bangsa, agama atau
peradaban.[18]
Menurutnya “tidak ada sains Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk
menciptakan sains Islam merupakan pekerjaan sia-sia”.[19]
Sedangkan kontroversi yang terjadi
dikalangan ilmuwan muslim merupakan tantangan tersendiri bagi realisasi
islamisasi ini. Pendapat yang diberikan para ilmuwan berkisar tentang metodologi
dalam islamisasi. Dalam pertentangan tersebut terdapat pesimisme dan juga
optimisme terhadap islamisasi. Namun semua pernyataan tersebut perlu dilihat
siapa yang berpendapat dan bagaimana corak pemikirannya. Sehingga tidak
menerimanya begitu saja.
Dengan melihat kondisi tersebut, ranah
epistemolog memang tidak bisa dipisahkan. Dalam kaitan ini, epistemologi merupakan
unsur budaya yang berhubungan langsung dengan sistem nilai sebagai sesuatu
yang mengkonstruk pola pikir (mind set) karena epistemologi memang
terbukti mendasari rangka pikir dan perilaku manusia. Epistemologi
adalah bingkai konseptual yang menjadi cara atau sudut pandang manusia dalam
mengalami, memahami, dan bersikap terhadap realitas.[20]
D. Kedudukan Epistemologi dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Melihat perbedaan pendapat antar
ilmuwan muslim tentang realisasi islamisasi ilmu pengetahuan, mungkin membuat
kita bingung, mengapa di antara mereka ada yang setuju dan ada yang tidak?
Kepada siapa kita harus berpihak? Pihak yang mendukung islamisasi memiliki
semangat dan harapan besar terhadap kembalinya hegemoni ilmu pengetahuan islam.
Bahkan sebagian dari mekera telah menawarkan konsep islamisasi ilmu
pengetahuan. Di lain sisi, pihak yang menolak menilai bahwa islamisasi
merupakan hal yang sulit bahkan mustahil direalisasikan, karena “lawan” yang
dihadapi terlalu besar dan sulit ditaklukkan, dan menilai bahwa ilmu pengetahuan
adalah universal (tidak ada kaitannya dengan Islam atau tidak Islam), sehingga
usaha untuk mewujudkannya adalah hal yang sia-sia.
Setiap ilmuwan berhak melahirkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, dan memang ini yang harus dilakukan untuk
kelangsungan hidup umat manusia. Namun, melihat kultur dan profil dari bangsa
barat dan Islam, apakah sama cara keduanya memperoleh ilmu pengetahuan?
Islamisasi ilmu baru mungkin dan bermakna jika kita menunjukkan teoritis yang
fundamental antara teori ilmu (epistemologi) modern dan Islam.[21]
E. Pengertian dan Ruang Lingkup Epistemologi
Pengertian epistemologi menurut
Dagobert D. Runes adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur,
metode-metode, dan validitas pengetahuan. Kemudian Azyumardi Azra juga menambahkan
bahwasannya epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian,
pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[22]
Sementa M. Arifin menjelaskan ruang lingkup epistemologi meliputi hakikat,
sumber dan validitas pengetahuan. Pada intinya, ruang lingkup epistemologi
menurut A. M. Saefuddin dapat diringkas menjadi 2 masalah pokok yaitu sumber
ilmu dan masalah benarnya ilmu.[23]
Disamping itu, landasan epistemologi
juga memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan ilmu pengetahuan. Sedangkan
landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah.[24]
Metodologi atau cara memperoleh ilmu
pengetahuan merupakan ranah epistemologi sebagai salah satu cabang dari
filsafat ilmu. Dalam kaitan ini, perlu diketahui bahwa epistemologi barat dan
epistemologi islam berbeda. Para pemikir muslim memformulasi bangunan
epistemologi islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Gagasan epistemologi
islam ini bertujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat islam khususnya,
agar bisa keluar dari belenggu pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
berdasarkan epistemologi barat.[25]
1) Epistemologi Barat
Berbagai belahan dunia merasa tertarik
menjadikan barat sebagai refrensi dalam pengembangan iptek. Oleh karena itu,
epistemologi yang dikembangkan ilmuwan barat mempengaruhi pemikiran para
ilmuwan di seluruh dunia, termasuk ilmuwan muslim seiring dengan pengenalan dan
sosialisasi teknologi mereka. Padahal secara tidak sadar mereka telah
terbelenggu oleh epistemologi barat yang belum tentu bisa diterima. Selanjutnya
perlu diidentifikasi pendekatan epistemologi barat sebenarnya telah melakukan
imperialisme epistemologi diseluruh dunia terutama dunia islam. Beberapa
pendekatan epistemologi barat diantaranya:
a. Skeptis, yaitu keragu-raguan atau kesangsian. Dikalangan
barat, keraguan menjadi salah satu ciri epistemologi. Mereka berangkat dari
keraguan ketika menghadapi persoalan pengetahuan yang belum terpecahkan secara
meyakinkan.
b. Rasional-Empiris, dalam mekanisme kerja epistemologi barat,
penggunaan rasio menjadi mutlak dibutuhkan. Tidak ada kebenaran ilmiah yang
bisa dipertanggungjawabkan tanpa mendapat pembenaran rasio.
c. Dikotomik, akibat yang timbul dari pola pikir ini adalah
tersosialisasikan adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu
pengetahuan islam.
d. Positif-Objektif, dalam pemikiran ini, pemikiran kita tidak boleh
melampaui fakta-fakta, maka pengetahuan empiris dijadikan pendoman istimewa
dalam bidang pengetahuan. Ilmu yang dihasilkan dari tahapan metafisis tidak
dianggap sebagai ilmu pengetahuan.
e. Anti Metafisika, secara singkat, pendekatan ini menafikan wahyu dan
tidak memiliki campur tangan sama sekali dalam menghasilkan ilmu pengetahuan.
2) Epistemologi Islam
Ilmu pengetahuan dalam pandangan islam
tidak bertolak belakang secara menyeluruh dengan pengetahuan barat, ada
segi-segi tertentu yang merupakan titik persamaan dan perbedaannya. Titik
persamaannya adalah keberadaan diterima secara universal, seperti indera dan
akal sebagai salah satu media mendapatkan ilmu pengetahuan. Namun, islam
mengakui keterbatasan indera dan akal, akhirnya ilmu dalam islam dirancang dan
dibangun melalui kedua sumber tersebut berdasarkan kekuatan spiritual yang
bersumber dari wahyu Allah. Adapun pendekatan epistemologi islam diantaranya:
a. Bersandar pada kekuatan spiritual, yaitu sebagaimana pada iman dan hati
nurani pada akal juga terdapat kekuatan spiritual. Akal manusia mempunyai
substansi spiritual yang bersumber dan prinsipnya adalah ilahi, yaitu ilmu dan
filsafat diperoleh dengan bantuan spiritual, maka baik metode maupun objek
pemikiran yang tidak dapat dijangkau manusia akan dikembalikan dengan kekuatan
ilahi.
b. Hubungan yang harmonis antara wahyu dan akal, artinya ilmu dalam islam
tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga
melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan
ilmu, sedangkan wahyu datang membimbing serta memberi petunjuk yang harus
dilalui akal.
c. Interdependensi akal dengan intuisi, yaitu ilmu pengetahuan dibangun atas
kerjasama akal dan intuisi. Akal memiliki keterbatasan-keterbatasan penalaran
yang kemudian disempurnakan oleh intuisi yang sifatnya memberi bantuan.
d. Memiliki orientasi teosentris, yaitu ilmu dalam islam tidak hanya
semata-mata berupaya untuk mencapai kemudahan-kemudahan atau kesejahteraan
duniawi saja, akan tetapi juga kebahagiaan akhirat dengan menjadikan sarana
dalam melakukan ibadah.
e. Terikat nilai, yaitu dalam islam harus didasarkan nilai dan harus
memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk
kepentingannya sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan[26]
Dengan menyadari kondisi umat islam
yang ketinggalan jauh dari kemajuan barat dan bahaya yang akan menimpanya, maka
gerakan yang mendesak untuk merealisasikan islamisasi diberbagai belahan dunia
islam yaitu dengan mendasarkan epistemologi yang dijiwai oleh nilai-nilai
ketauhidan, maka epistemologi islam perlu dijadikan alternative terutama bagi
filosof, pemikir, dan ilmuwan muslim untuk menyelamatkan mereka dari
keterjebakan kedalam arus besar dibawah kendali epistemologi barat. Dan
berdasarkan realitas ini, sudah saatnya kalangan cendekiawan muslim-lah yang
harus memenuhi dan mengembangkan epistemologi islam, karena epistemologi inilah
merupakan inti setiap pandangan dunia maupun juga, dan dengan epistemologi inilah
terbukti mampu mengantarkan zaman klasik islam menuju pada kemampuan membangun
ilmu dan kebudayaan.
Oleh karena itu, Epistemologi islam
ini memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjada kehormatan umat islam.
Epistemologi ini bisa membangkitkan umat islam untuk segera mencapai kemajuan
ilmu pengetahuan dan secara umum peradaban, mengingat epistemologi tersebut
merupakan media atau alat untuk menggali, menemukan, dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Tanpa epistemologi islam, tidak mungkin dapat membangun kehidupan
umat yang baik dengan suatu peradaban islam yang mapan.
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya islamisasi ilmu pengetahuan merujuk pada usaha
memurnikan dan melepaskan konstruksi ilmu pengetahuan dari pemikiran-pemikiran
yang bertentangan dengan islam. Islamisasi tidak hanya sekedar kegiatan
ayatisasi dan pelabelan islam terhadap suatu ilmu, namun lebih kepada proses
membina dan membangun metodologi yang tepat berdasarkan konsep islam, sehingga ilmu
pengetahuan yang muncul akan mengikuti konstruksi yang telah digariskan oleh
islam yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi,
Isma’il Raji. 2003. Islamisasi Pengetahuan, Cet ke-3. Bandung: Penerbit Pustaka.
Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformasi.
Yogyakarta: LkiS.
Armando, Nina M. 2005. Ensiklopedia Islam Jilid 2.
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve
Armas, Adnin. 2007. Krisis Epistemologi dan
Islamisasi Ilmu. ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis.
Habib, Zainal.
2007. Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi Mendialogkan Perspektif.
Malang: UIN Malang Press.
Handrianto, Budi.
2010. Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan
Sains Barat Modren. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hashim,Rosnani.
2005. Gagasan Islamisasi Kontempore: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan,
Islamiah: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jakarta: INSIST.
Hoodbhoy, Perves. 1996. Ikhtiar Menegak
Rasionalitas. Bandung: Mizan.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia. 2002. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan
Bahasa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartanegara, Mulyadhi. 2007. Mengislamkan Nalar.
Jakarta: Erlangga.
Nasution, Harun.
1992. Ensiklopedi Islam Indonesia.
Jakarta: Dzambatan.
Qomar, Mujamil.
2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Salim, Peter & Yenny Salim. 1986. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.
Shopan, Mohammad. 2005. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial
dan Humaniora Vol. 4 No. 1: Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Siregar, Abu Bakar Adenan. Islamisasi Ilmu
Pengetahuan. Sumatera Utara: UIN Sumatera Utara.
Soleh, A. Khudori.
2005. Majalah Mahasiswa UIN Malang Edisi 22: Ide-ide Tentang Islamisasi
Ilmu: Pengertian, Perkembangan dan Respon. Malang: UIN Malang.
Syadaly, H. Ahmad dan Mudzakir. 1997. Filsafat
Umum. Bandung: Pustaka Setia.
[1]Peter Salim
& Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer, hlm. 971.
[2]H. Ahmad
Syadaly, dan Mudzakir, Filsafat Umum, hlm. 34
[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
& Pengembangan Bahasa, hlm. 879.
[6] Budi
Handrianto, Islamisasi Sains Sebuah Upaya
MengIslamkan Sains Barat Modren, hlm. 133.
[7]Zainal Habib, Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi Mendialogkan
Perspektif, hlm. 54
[9]Budi Handrianto, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat
Modern, hlm. 140-141
[11]Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer, hlm. 41
[13]Abu Bakar Adenan Siregar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, hlm. 95
[15]Adnin Armas, Krisis Epistemologi Dan Islamisasi Ilmu, hlm. 15
[16]Mohammad Shopan, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, hlm. 11
[17]Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, hlm. 16
[18]Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer, hlm. 42
[20]Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, hlm. 14-15
[22]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 4
[23]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 4
[24]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 11
[26]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 165
nice sangat membantu keren
BalasHapusstamp alfamart royal vkb