Sabtu, 19 Desember 2015

Contoh Variabel Psikologi

1.      Prokrastinasi
2.      Regulasi Diri
3.      Kepercayaan Diri
4.      Konsep Diri
5.      Resiliensi
6.      Penyesuaian Diri
7.      Identitas Diri
8.      Motivasi Berprestasi
9.      Motivasi Kerja
10.  Penerimaan Diri
11.  Harga Diri
12.  Agresivitas
13.  Efikasi Diri
14.  Kontrol Diri
15.  Dukungan Sosial
16.  Strategi Coping
17.  Problem Solving
18.  Manajemen Konflik
19.  Kecerdasan Emosi
20.  Kecerdasan Spiritual
21.  Inteligensi
22.  Multiple Inteligensi
23.  Religiusitas
24.  Bersyukur
25.  Makna Sakinah
26.  Makna Hidup
27.  Monitoring Diri
28.  Optimisme
29.  Pesimisme
30.  Kecemasan
31.  Depresi
32.  Stress
33.  Stress Kerja
34.  Etos Kerja
35.  Iklim Kerja
36.  Kepuasan Kerja
37.  Komunikasi Interpersonal
38.  Interpersonal Skill
39.  Kematangan Beragama
40.  Negative Moods
41.  Positive Moods
42.  Persuasi
43.  Empati
44.  Pola Asuh
45.  Persepsi
46.  Short Time Memory (STM)
47.  Long Time Memory (LTM)
48.  Ketenangan Jiwa
49.  Kenakalan Remaja
50.  Prilaku Konsumtif
51.  Prilaku Asertif
52.  Prilaku Prososial
53.  Prilaku Diskriminatif
54.  Prilaku Pedofilia
55.  Prilaku Mencontek
56.  Fanatisme
57.  Narsisme
58.  Gaya Hidup Hedonis
59.  Heteroseksual
60.  Gangguan Atensi

Raymond Bernard Cattel

A.    Sejarah
Raymond Bernard Cattell dilahirkan di Inggris tanggal 20 Maret 1905 dan dibesarkan di sebuah kota di tepi pantai bernama Devonshire. Cattell adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Masa kecilnya dihabiskan di luar rumah, berlayar, berenang, menelusuri gua, dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjukkan kecintaannya akan laut. Ketika Cattel berusia 9 tahun, di Inggris sedang terjadi Perang Dunia I. Rumah besar di dekat rumahnya diubah menjadi Rumah Sakit, dan Cattell melihat banyak kereta muatan berisi tentara-tentara yang terluka kembali dari medan perang. Pengalaman itu membuatnya menjadi lebih sadar betapa singkatnya hidup seseorang dan kebutuhan untuk melengkapinya selama masih bisa.
Ketika usianya beranjak 16 tahun, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di University of London, jurusan fisika dan kimia. Ia lulus tiga tahun kemudian dengan menyandang gelas B.Sc. Namun ia menyadari, kemampuannya di bidang sains ternyata tidak membantunya dalam bersosialisasi hingga ia memutuskan untuk mempelajari human-mind, melalui ilmu psikologi.
Setelah ia mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1929, ia bekerja sama dengan Charles Spearman dan mengembangkan teknik analisis faktor. Ia juga menjadi dosen di Exeter University dan membangun sebuah klinik psikologi di Leicester pada tahun 1932.
Pada tahun 1937, Edward L. Thorndike mengundang Cattell untuk membantu penelitiannya di Columbia University di New York. Tahun berikutnya, Cattell menjadi Professor Psikologi di Clark University di Worcester, Massachussets dan pada tahun 1941 ia pindah ke Harvard University. Pada tahun 1945, ia pindah ke University of Illinois sebagai seorang Professor penelitian disana.
Setelah pensiun dari University of Illinois pada tahun 1973, ia membangun Institute for Research on Morality and Adjusment in Boulder di Colorado. Pada yahun 1978, ia pindah ke Hawaii dan mengajar di University of Hawaii School of Professional Psychology. Pada tangga 2 Februari 1998, Cattell wafat di rumahnya, di Honolulu, Hawaii.
B.     Teori
Cattell berpendapat bahwa inteligensi atau general (g) intelligence terdiri dari dua faktor, yaitu fluid intelligence (gf) yang merupakan faktor bawaan biologis dan crystallized intelligence (gc) yang merefleksikan adanya pengaruh pengalaman, pendidikan dan kebudayaan dalam diri seseorang.
Crystallized intelligence (gc) dapat merupakan produk dari pendidikan dan pengalaman seseorang dalam interaksinya dengan fluid intelligence (gf). Hal ini membuat crystallized intelligence (gc) pada umumnya akan berkembang sesuai dengan pertambahan usia serta pengalaman seseorang. Dengan kata lain, tugas-tugas kognitif dimana keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan telah mengkristal akibat dari pengalaman sebelumnya, seperti kekayaan kosa kata, pengetahuan, kebiasaan penalaran, dan semacamnya, semua akan meningkatkan inteligensi seseorang tersebut. Pada umumnya,bila kita mengatakan inteligensi sebagai kemampuan umum dalam menyelesaikan masalah maka itu berarti crystallized intelligence (gc).
Pada sisi lain, fluid intelligence (gf) lebih merupakan kemampuan bawaan yang diperoleh sejak kelahiran dan lepas dari pengaruh pendidikan dan pengalaman seperti kapasitas seseorang untuk berpikir secara logis dan menyelesaikan masalah dalam situasi yang baru, dan mandiri dalam mengumpulkan pengetahuan yang dibutuhkan. Termasuk kemampuan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan baru, mengidentifikasi pola-pola dan hubungan-hubungan antar masalah, serta membuat perhitungan secara logis. Termasuk didalam fluid intelligence (gf) yaitu kemampuan untuk menggunakan gaya berfikir deduktif maupun induktif.
Fluid intelligence (gf) dapat dipandang sebagai faktor yang tak terbentuk, yang mengalir kedalam berbagai variasi kemampuan intelektual. Fluid intelligence (gf) sangat penting artinya guna keberhasilan melakukan tugas-tugas yang menuntut kemampuan adaptasi atau penyesuaian pada situasi-situasi baru dimana crystallized intelligence (gc) tidak begitu berperan.
Fluid intelligence (gf) cendrung tidak berubah setelah usia 14 tahun atau 15 tahun, sedangkan crystallized intelligence (gc) masih dapat terus berkembang sampai usia 30 – 40 tahunan, bahkan lebih. Hal ini dapat dimaklumi karena perkembangan crystallized intelligence (gc) memang banyak tergantung pada bertambahnya pengalaman dan pengetahuan sehingga peningkatan usia yang berarti peningkatan pengalaman akan terus berpengaruh terhadap perkembangan crystallized intelligence (gc).
Meskipun berbeda, akan tetapi fluid intelligence (gf) dan crystallized intelligence (gc) dapat tampak serupa. Pada umumnya, fluid intelligence (gf) dan crystallized intelligence (gc) menunjukkan korelasi yang tinggi satu sama lain. Misalnya, kita dapat menganggap perbedaan ini ada dalam kemampuan kita untuk belajar, bernalar dan memperoleh informasi atau pengetahuan baru itulah yang dimaksud fluid intelligence (gf) sedangkan mempresentasikan pemahaman dan pengetahuan yang telah kita peroleh itulah yang dimaksud crystallized intelligence (gc).
Dari pandangannya mengenai inteligensi, Cattell juga mengembangkan tes inteligensi yang disebut Culture Fair Intelligence Test, atau disingkat CFIT. Cattell menyebutkan bahwa CFIT terdiri dari tiga jenis tes atau skala, yaitu skala 1, skala 2, dan skala 3. Skala 1 dipergunakan untuk mengukur inteligensi kecerdasan anak-anak berumur empat sampai dengan delapan tahun dan orang-orang yang lebih tua namun memiliki kesulitan belajar. Skala 2 dipergunakan untuk mengukur inteligensi anak-anak yang berusia delapan sampai empatbelas tahun dan orang dewasa yang memiliki kecerdasan normal. Skala 3 dipergunakan untuk mengukur inteligensi orang berusia empatbelas tahun keatas dan orang dewasa yang memiliki taraf kecerdasan superior. Skala CFIT 2 dan sala CFIT 3 memiliki bentuk pararelnya, yaitu form A dan form B. Hal ini membuat CFIT 2 terdiri dari CFIT 2A dan 2B, sedangkan skala CFIT 3 terdiri dari CFIT 3A dan 3B.
CFIT disebut sebagai tes yang culture fair atau adil budaya, karena CFIT relatif bebas dari pengaruh tingkat pendidikan dan budaya dari testee. Hal ini membuat CFIT relatif lebih mudah digunakan di berbagai Negara yang memiliki budaya berbeda-beda tanpa harus melakukan adaptasi budaya terlebih dahulu. Kondisi ini menjadi kelebihan yang dimiliki oleh CFIT. Kelebihan tersebut tidak dimiliki oleh tes inteligensi yang dikemukakan oleh Wechsler.

C.    Kritik
Teori yang dikemukakan oleh Cattell ini memiliki beberapa kelemahan seperti:
1)      Cattell beranggapan fluid intelligence (gf) itu dapat diukur. Hal ini yang membuat pendapatnya berbeda dengan rekannya Donald Olding Hebb yang beranggapan bahwa fluid intelligence (gf) itu tidak dapat diukur.
Sampai saat ini belum ditemukan dasar yang berhubungan jelas dengan inteligensi, karena sukar sekali memisahkan hasil belajar dan budaya dari struktur biologis yang diduga mempengaruhinya.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Makalah Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI)
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
“Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam (PMDI) Semester 5”

Disusun Oleh:
Kelompok I

Ahmad Marzuki                                                  12350007
Ahmad Romadhoni                                            13350004

Dosen Pembimbing
DR. Abdul Razak



JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2015
ABSTRAK

Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan mengenai pengertian Islamisasi Ilmu pengetahuan, tujuan dari Islamisasi Ilmu Pengetahuan, kontroversi dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan, kedudukan Epistimologi dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan, serta Ruang Lingkup Epistemologi dalam pengembangan Ilmu Barat dan Islam. Kesimpulan dari makalah ini adalah pada dasarnya islamisasi ilmu pengetahuam merujuk pada usaha memurnikan dan melepaskan konstruksi ilmu pengetahuan dari pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan islam.

Kata Kunci: Islamisasi, Ilmu Pengetahuan, Epistemologi

A.    Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasai ilmu pengetahuan terdiri dari tiga kata yaitu, kata Islamisasi, ilmu dan pengetahuan. Di sini penulis akan menjelaskan satu persatu dari ketiga kata tersebut. Islamisasi;  artinya adalah pengIslaman, pengIslaman dunia, bisa juga usaha mengIslamkan dunia.[1] Sedangkan ilmu adalah merupakan cara berfikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Ilmu merupakan produk dari proses berfikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berfikir ilmiah.[2] Dan yang terakhir adalah pengetahuan. Didalam Kamus Besar  Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan disamakan artinya dengan ilmu. Ilmu adalah pengetahuan[3]. Akan tetapi dari berbagai referensi yang penulis baca bahwa ilmu dan pengetahuan tidaklah sama persis, dimana ilmu lebih luas cakupannya, karna pengetahuan belum pasti dikatakan ilmu sedangkan pengetahuan sudah  barang  tentu dikatakan ilmu. Dari pengertian di atas jadi yang dikatakan Islamisasi pengetahuan adalah; berarti mengIslamkan segala ilmu pengetahuan.
Pengertian di atas merupakan pengertian kata perkata dari Islamisasi ilmu pengetahuan, sedangkan pengertian dari gabungan ketiga kata tersebut; sebagaimana menurut AI-Faruqi dalam bukunya Budi Handrianto; menyebutkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowladge) merupakan usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk mendefenisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argument dan rasionalisasi, menilai kembali tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu memperkaya visi dan perjuangan Islam. Islamisasi ilmu juga merupakan sebagai usaha yaitu memberikan defenisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam. [4]
Islamisasi pengetahuan kata al-Faruqi adalah solusi terhadap dualisme sistem pendidikan kaum Muslimin saat ini. Baginya dualisme sistem pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan paradigma Islam. Paradigma tersebut bukan imitasi dari Barat, bukan juga untuk semata-mata memenuhi kebutuhan ekonomis dan pragmatis pelajar untuk ilmu pengetahuan profesional, kemajuan pribadi atau pencapaian materi. Namun, paradigma tersebut bukan diisi dengan sebuah misi, yang tidak lain adalah menanamkan, menancapkan serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu.
Dapat disimpulkan bahwa mengIslamkan ilmu pengetahuan modren adalah dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya.
Al-Faruqi adalah orang yang pertama menggagas Islamisasi ilmu pengetahuan. Ketajaman intelektual dan semangat kritik ilmiyahnya, membawa ia sampai kepada kesimpulan bahwa ilmu-ilmu sosial model barat menunjukkan kelemahan metodologi yang cukup mendasar, terutama bila diterapkan untuk memahami kenyataan kehidupan sosial umat Islam yang memiliki pandangan hidup yang sangat berbeda dari masyarakat Barat. Untuk mencapai tujuan al-Faruqi mendirikan Himpunan Ilmu Sosial Muslim (The Asociation of  Muslim Social Scientists-AMSS)  pada tahun 1972 dan sekaligus menjadi presidennya yang pertama hingga 1918, melalui lembaga ini ia berharap bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan terwujud.[5]
Setelah menyampaikan ide Islamisasinya pada tahun 1981, al-Faruqi langsung mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus untuk mengembangkan gagasan-gagasannya tentang proyek Islamisasi, yaitu International Institute of Islamic Though (IIIT), merupakan lembaga internasional untuk pemikiran Islam, yang penyelenggaranya adalah AMSS sendiri.
Sedangkan Syed M. Naquib al-Attas Secara teoritis dan ideologis, mendefenisikan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai: pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya.[6]
Menurut al-Attas ini, islamisasi ilmu pengetahuan terkait erat dengan pembebasan manusia dari tujuan-tujuan hidup yang bersifat dunyawi semata, dan mendorong manusia untuk melakukan semua aktivitas yang tidak terlepas dari tujuan ukhrawi. Bagi al-Attas, pemisahan dunia dan akhirat dalam semua aktivitas manusia tidak bisa diterima. Karena semua yang kita lakukan di dunia ini akan selalu terkait dengan kehidupan kita di akhirat.
B.     Tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Tujuan adalah hal yang sangat perlu dalam merumuskan sesuatu, karena tujuan merupakan titik yang akan kita tuju dalam melakukan sesuatu, jadi tanpa adanya tujuan maka akan sulit untuk melakukan perencanaan, langkah-langkah dan lain-lain. Begitu juga dalam merumuskan Islamisasi ilmu pengetahuan, dimana ada beberapa tujuan yang harus dicapai dalam menjalankan ide islamisasi ilmu pengetahuan ini. Dalam menjalankan proses islamisasi ilmu pengetahuan ini ada beberapa tujuan yaitu:
1.      Menguasai disiplin ilmu modern
2.      Menguasai warisan islam
3.      Menetapkan relevansi khusus pada setiap bidang ilmu pengetahuan
4.      Mencari jalan untuk sintesis kreatif antara warisan (islam) dan ilmu pengetahuan modern
5.      Membangun pemikiran islam pada jalan yang mengarah pada kepatuhan pada hukum Tuhan. Islamisasi juga membebaskan manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang cendrung menzhalimi dirinya sendiri, karena sifat jasmani adalah cendrung lalai terhadap hakikat dan asal muasal manusia. Dengan demikian, islamisasi tidak lain adalah proses pengembalian kepada fitrah.
6.      Bahwa didalam islamisasi ilmu pengetahuan terdapat pengakuan akan adanya hirarki atau tingkatan-tingkatan ilmu pengetahuan
7.      Meletakkan wahyu bukan saja sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan tetapi juga standar tertinggi dalam menemukan kebenaran.[7]
Selanjutnya, secara umum islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang “terlalu” religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Kegiatan al-Faruqi dalam masalah islamisasi didorong oleh pendapatnya bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini sudah sekuler dan jauh dari kerangka tauhid. Untuk itu dia menyusun kerangka teori, metode dan langkah-langkah praktis menuju islamisasi ilmu pengetahuan. Sejalan dengan itu, dia juga menyerukan adanya perombakan sistem pendidikan islam yang mengarah kepada islamisasi ilmu pengetahuan dan terciptanya paradigma tauhid dalam pengetahuan dan pendidikan.[8] Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka islamisasi ilmu, sebagai berikut:
1.      Penguasa disiplin ilmu modern
2.      Penguasa khazanah warisan islam
3.      Membangun relevansi islam dengan masing-masing bidang ilmu modern dan khazanah warisan islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern
4.      Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern
5.      Pengarahan aliran pemikiran islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT.[9]
C.    Kontroversi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Diskursus seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama menebar­kan perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Semenjak dicanangkan­nya sekitar 30 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme (kebangkitan) Islam. Namun, di pihak lain menganggap bahwa gerakan "Islamisasi" hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati "sakit hati" karena ketertinggalan mereka yang sangat jauh dari peradaban Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan sendirinya.
Rosnani Hashim membagi kelompok ini menjadi empat golongan, yaitu:[10]
1.      Golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya dan berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang sejalan dengan maksud Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka.
2.      Golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsep tetapi tidak mengusahakannya secara praktis.
3.      Golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemooh, mengejek dan mempermainkan gagasan ini.
4.      Golongan yang tidak mempunyai pendirian terhadap isu ini. Mereka lebih suka mengikuti perkembangan yang dirintis oleh sarjana lainnya atau pun mereka tidak memperdulikannya.
a)      Golongan Pro Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Aktivitas golongan pertama mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka mengokohkan dan memurnikan kembali konsep Islamisasi ilmu ini walaupun mereka saling mengkritik ide satu sama lain, tetapi itu dimaksudkan untuk merekons­truksinya bukan mendekontruksi.
Diantaranya adalah S. A. Ashraf yang melakukan kritik terhadap al-Faruqi yang “ingin penyelidikan dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membanding­kannya melalui subjek yang terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memung­kinkan.” Pada fikirannya, kompromi merupakan sesuatu yang mustahil terhadap dua pandangan yang sama sekali berbeda. Tidak seharusnya bagi sarjana muslim me­mulai dengan konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan berdasar­kan prinsip yang dinukil dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Namun dalam pandangan Syed Hossein Nasr, integrasi yang diinginkan al­-Faruqi bukan saja sesuatu yang mungkin tetapi juga perlu untuk dilakukan. Menurut­nya, para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu.[11]
Gerakan Islamisasi ini juga mendapat dukungan dari Jaafar Syeikh Idris, seorang ulama Sudan yang pernah mengajar di Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi. Idris menyarankan agar para cendikiawan muslim membawa pandangan Islam.[12] Dan ketika slogan Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi sangat popular pada tahun 1987, Syeikh Idris menulis sebuah artikel yang mengingatkan agar be­berapa masalah filsafat dan metodologi yang serius ditetapkan terlebih dahulu sebelum program Islamisasi yang berarti dapat dilaksanakan. Ia mengajukan be­berapa pertanyaan sebagai panduan untuk menuju ke arah Islamisasi ilmu tersebut, Syeikh Idris mempersoalkan tentang; 1) Apakah makna mengislamkan Ilmu?; 2) Apakah ilmu pengetahuan itu bersifat possible?; 3) Apakah semua ilmu pengetahuan itu dipelajari atau sebagiannya bawaan sejak lahir?; 4) Apakah sumber-sumber ilmu pengetahuan itu?; 5) Apakah metode ilmiah itu?.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini, maka jawaban-jawaban terhadapnya bisa lebih sistematis dibandingkan penulis-penulis lainnya, termasuk Ismail Raji al-­Faruqi. Dan dalam pandangannya juga, ilmu pengetahuan masa kini adalah “ilmu pengetahuan yang berada dalam kerangka filsafat ateis materialis yang berlaku di Barat”, yang memungkinkan bagi umat Islam untuk mengislamkannya. Untuk itu Syeikh Idris mengusulkan agar mengislamkan ilmu pengetahuan dengan meletakkan­nya di atas fondasi Islam yang kuat, dan mempertahankan nilai-nilai Islam dalam pencarian ilmu pengetahuan.[13]
Di Indonesia sendiri ada beberapa tokoh yang mendukung Islamisasi ilmu pengetahuan, seperti AM. Saifuddin. Menurutnya, Islamisasi adalah suatu keharusan bagi kebangkitan Islam, karena sentral kemunduran umat dewasa ini adalah kering­nya ilmu pengetahuan dan tersingkirnya pada posisi yang rendah. Hal senada diung­kapkan Hanna Djumhana Bastaman, dosen psikologi UI Jakarta. Hanya saja beliau memperingatkan bahwa gagasan ini merupakan proyek besar sehingga perlu kerja­sama yang baik dan terbuka di antara para pakar dari berbagai disiplin ilmu agar terwujud sebuah sains yang berwajah Islami.[14]
b)     Golongan Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Maraknya perkembangan pemikiran seiring dengan lahirnya gagasan Islami­sasi ilmu pengetahuan ini, bukan berarti semua umat Islam sepakat terhadap ide ter­sebut. Mereka percaya bahwa semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang menjadi sumber utamanya adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan pela­belan Islam atau bukan Islam pada segala ilmu.
Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah didalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalah gunakannya.[15] Dan bahkan ia berkesimpulan bahwa “kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan islami. Lebih baik kita memanfaatkan waktu, energi, dan uang untuk berkreasi”.[16] Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas, “seperti senjata dua sisi yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab, ia sangat penting digunakan dan didapatkan secara benar.” Baik dan buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya.
Abdul Salam, pemenang anugerah Nobel fisika berpandangan bahwa “hanya ada satu ilmu universal yang problem-problem dan modalitasnya adalah internasional dan tidak ada sesuatu yang dinamakan ilmu Islam, seperti juga tidak ada ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau ilmu Kristen. Abdul Salam menceraikan pandangan hidup Islam menjadi dasar metafisis kepada sains[17]
Senada dengan Abdul Salam, Pervez Hoodbhoy, yang juga pernah meraih penghargaan Nobel, menyangsikan keberadaan sains Barat, sains Islam, sains Yunani atau peradaban lain dan berpandangan bahwa sains itu bersifat universal dan lintas bangsa, agama atau peradaban.[18] Menurutnya “tidak ada sains Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains Islam merupakan pekerjaan sia-sia”.[19]
Sedangkan kontroversi yang terjadi dikalangan ilmuwan muslim merupakan tantangan tersendiri bagi realisasi islamisasi ini. Pendapat yang diberikan para ilmuwan berkisar tentang metodologi dalam islamisasi. Dalam pertentangan tersebut terdapat pesimisme dan juga optimisme terhadap islamisasi. Namun semua pernyataan tersebut perlu dilihat siapa yang berpendapat dan bagaimana corak pemikirannya. Sehingga tidak menerimanya begitu saja.
Dengan melihat kondisi tersebut, ranah epistemolog memang tidak bisa dipisahkan. Dalam kaitan ini, epistemologi merupakan unsur budaya yang ber­hubungan langsung dengan sistem nilai sebagai sesuatu yang mengkonstruk pola pikir (mind set) karena epistemologi memang terbukti mendasari rangka pikir dan perilaku manusia. Epistemologi adalah bingkai konseptual yang menjadi cara atau sudut pandang manusia dalam mengalami, memahami, dan bersikap terhadap realitas.[20]
D.    Kedudukan Epistemologi dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Melihat perbedaan pendapat antar ilmuwan muslim tentang realisasi islamisasi ilmu pengetahuan, mungkin membuat kita bingung, mengapa di antara mereka ada yang setuju dan ada yang tidak? Kepada siapa kita harus berpihak? Pihak yang mendukung islamisasi memiliki semangat dan harapan besar terhadap kembalinya hegemoni ilmu pengetahuan islam. Bahkan sebagian dari mekera telah menawarkan konsep islamisasi ilmu pengetahuan. Di lain sisi, pihak yang menolak menilai bahwa islamisasi merupakan hal yang sulit bahkan mustahil direalisasikan, karena “lawan” yang dihadapi terlalu besar dan sulit ditaklukkan, dan menilai bahwa ilmu pengetahuan adalah universal (tidak ada kaitannya dengan Islam atau tidak Islam), sehingga usaha untuk mewujudkannya adalah hal yang sia-sia.
Setiap ilmuwan berhak melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan memang ini yang harus dilakukan untuk kelangsungan hidup umat manusia. Namun, melihat kultur dan profil dari bangsa barat dan Islam, apakah sama cara keduanya memperoleh ilmu pengetahuan? Islamisasi ilmu baru mungkin dan bermakna jika kita menunjukkan teoritis yang fundamental antara teori ilmu (epistemologi) modern dan Islam.[21]
E.     Pengertian dan Ruang Lingkup Epistemologi
Pengertian epistemologi menurut Dagobert D. Runes adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan. Kemudian Azyumardi Azra juga menambahkan bahwasannya epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.[22] Sementa M. Arifin menjelaskan ruang lingkup epistemologi meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Pada intinya, ruang lingkup epistemologi menurut A. M. Saefuddin dapat diringkas menjadi 2 masalah pokok yaitu sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.[23]
Disamping itu, landasan epistemologi juga memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan ilmu pengetahuan. Sedangkan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah.[24]
Metodologi atau cara memperoleh ilmu pengetahuan merupakan ranah epistemologi sebagai salah satu cabang dari filsafat ilmu. Dalam kaitan ini, perlu diketahui bahwa epistemologi barat dan epistemologi islam berbeda. Para pemikir muslim memformulasi bangunan epistemologi islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Gagasan epistemologi islam ini bertujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat islam khususnya, agar bisa keluar dari belenggu pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemologi barat.[25]
1)      Epistemologi Barat
Berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan barat sebagai refrensi dalam pengembangan iptek. Oleh karena itu, epistemologi yang dikembangkan ilmuwan barat mempengaruhi pemikiran para ilmuwan di seluruh dunia, termasuk ilmuwan muslim seiring dengan pengenalan dan sosialisasi teknologi mereka. Padahal secara tidak sadar mereka telah terbelenggu oleh epistemologi barat yang belum tentu bisa diterima. Selanjutnya perlu diidentifikasi pendekatan epistemologi barat sebenarnya telah melakukan imperialisme epistemologi diseluruh dunia terutama dunia islam. Beberapa pendekatan epistemologi barat diantaranya:
a.     Skeptis, yaitu keragu-raguan atau kesangsian. Dikalangan barat, keraguan menjadi salah satu ciri epistemologi. Mereka berangkat dari keraguan ketika menghadapi persoalan pengetahuan yang belum terpecahkan secara meyakinkan.
b.   Rasional-Empiris, dalam mekanisme kerja epistemologi barat, penggunaan rasio menjadi mutlak dibutuhkan. Tidak ada kebenaran ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan tanpa mendapat pembenaran rasio.
c.  Dikotomik, akibat yang timbul dari pola pikir ini adalah tersosialisasikan adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan islam.
d.   Positif-Objektif, dalam pemikiran ini, pemikiran kita tidak boleh melampaui fakta-fakta, maka pengetahuan empiris dijadikan pendoman istimewa dalam bidang pengetahuan. Ilmu yang dihasilkan dari tahapan metafisis tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan.
e.    Anti Metafisika, secara singkat, pendekatan ini menafikan wahyu dan tidak memiliki campur tangan sama sekali dalam menghasilkan ilmu pengetahuan.
2)      Epistemologi Islam
Ilmu pengetahuan dalam pandangan islam tidak bertolak belakang secara menyeluruh dengan pengetahuan barat, ada segi-segi tertentu yang merupakan titik persamaan dan perbedaannya. Titik persamaannya adalah keberadaan diterima secara universal, seperti indera dan akal sebagai salah satu media mendapatkan ilmu pengetahuan. Namun, islam mengakui keterbatasan indera dan akal, akhirnya ilmu dalam islam dirancang dan dibangun melalui kedua sumber tersebut berdasarkan kekuatan spiritual yang bersumber dari wahyu Allah. Adapun pendekatan epistemologi islam diantaranya:
a.       Bersandar pada kekuatan spiritual, yaitu sebagaimana pada iman dan hati nurani pada akal juga terdapat kekuatan spiritual. Akal manusia mempunyai substansi spiritual yang bersumber dan prinsipnya adalah ilahi, yaitu ilmu dan filsafat diperoleh dengan bantuan spiritual, maka baik metode maupun objek pemikiran yang tidak dapat dijangkau manusia akan dikembalikan dengan kekuatan ilahi.
b.      Hubungan yang harmonis antara wahyu dan akal, artinya ilmu dalam islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedangkan wahyu datang membimbing serta memberi petunjuk yang harus dilalui akal.
c.       Interdependensi akal dengan intuisi, yaitu ilmu pengetahuan dibangun atas kerjasama akal dan intuisi. Akal memiliki keterbatasan-keterbatasan penalaran yang kemudian disempurnakan oleh intuisi yang sifatnya memberi bantuan.
d.      Memiliki orientasi teosentris, yaitu ilmu dalam islam tidak hanya semata-mata berupaya untuk mencapai kemudahan-kemudahan atau kesejahteraan duniawi saja, akan tetapi juga kebahagiaan akhirat dengan menjadikan sarana dalam melakukan ibadah.
e.       Terikat nilai, yaitu dalam islam harus didasarkan nilai dan harus memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk kepentingannya sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan[26]
Dengan menyadari kondisi umat islam yang ketinggalan jauh dari kemajuan barat dan bahaya yang akan menimpanya, maka gerakan yang mendesak untuk merealisasikan islamisasi diberbagai belahan dunia islam yaitu dengan mendasarkan epistemologi yang dijiwai oleh nilai-nilai ketauhidan, maka epistemologi islam perlu dijadikan alternative terutama bagi filosof, pemikir, dan ilmuwan muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan kedalam arus besar dibawah kendali epistemologi barat. Dan berdasarkan realitas ini, sudah saatnya kalangan cendekiawan muslim-lah yang harus memenuhi dan mengembangkan epistemologi islam, karena epistemologi inilah merupakan inti setiap pandangan dunia maupun juga, dan dengan epistemologi inilah terbukti mampu mengantarkan zaman klasik islam menuju pada kemampuan membangun ilmu dan kebudayaan.
Oleh karena itu, Epistemologi islam ini memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjada kehormatan umat islam. Epistemologi ini bisa membangkitkan umat islam untuk segera mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan secara umum peradaban, mengingat epistemologi tersebut merupakan media atau alat untuk menggali, menemukan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Tanpa epistemologi islam, tidak mungkin dapat membangun kehidupan umat yang baik dengan suatu peradaban islam yang mapan.


KESIMPULAN

Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya islamisasi ilmu pengetahuan merujuk pada usaha memurnikan dan melepaskan konstruksi ilmu pengetahuan dari pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan islam. Islamisasi tidak hanya sekedar kegiatan ayatisasi dan pelabelan islam terhadap suatu ilmu, namun lebih kepada proses membina dan membangun metodologi yang tepat berdasarkan konsep islam, sehingga ilmu pengetahuan yang muncul akan mengikuti konstruksi yang telah digariskan oleh islam yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruqi, Isma’il Raji. 2003. Islamisasi Pengetahuan, Cet ke-3. Bandung: Penerbit Pustaka.
Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformasi. Yogyakarta: LkiS.
Armando, Nina M. 2005. Ensiklopedia Islam Jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve
Armas, Adnin. 2007. Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu. ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis.
Habib, Zainal. 2007. Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi Mendialogkan Perspektif. Malang: UIN Malang Press.
Handrianto, Budi. 2010. Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modren. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hashim,Rosnani. 2005. Gagasan Islamisasi Kontempore: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, Islamiah: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam. Jakarta: INSIST.
Hoodbhoy, Perves. 1996. Ikhtiar Menegak Rasionalitas. Bandung: Mizan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartanegara, Mulyadhi. 2007. Mengislamkan Nalar. Jakarta: Erlangga.
Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Dzambatan.
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
Salim, Peter & Yenny Salim. 1986. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve.
Shopan, Mohammad. 2005. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 4 No. 1: Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Siregar, Abu Bakar Adenan. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Sumatera Utara: UIN Sumatera Utara.
Soleh, A. Khudori. 2005. Majalah Mahasiswa UIN Malang Edisi 22: Ide-ide Tentang Islamisasi Ilmu: Pengertian, Perkembangan dan Respon. Malang: UIN Malang.
Syadaly, H. Ahmad dan Mudzakir. 1997. Filsafat  Umum. Bandung:  Pustaka Setia.


[1]Peter Salim & Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, hlm. 971.
[2]H. Ahmad Syadaly, dan Mudzakir, Filsafat  Umum, hlm. 34
[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, hlm. 879.
[4] Isma’il Raji al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan, hlm. 38-39.
[5] Harun Nasution. Ensiklopedi Islam Indonesia, hlm. 243.
[6] Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modren, hlm. 133.
[7]Zainal Habib, Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi Mendialogkan Perspektif, hlm. 54
[8]Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam Jilid 2, hlm. 144
[9]Budi Handrianto, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern, hlm. 140-141
[10]Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer, hlm. 40
[11]Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer, hlm. 41
[12]Abu Bakar Adenan Siregar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, hlm. 95
[13]Abu Bakar Adenan Siregar, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, hlm. 95
[14]A. Khudori Soleh, Ide-ide Tentang Islamisasi Ilmu: Pengertian, Perkembangan, Respon, hlm. 28
[15]Adnin Armas, Krisis Epistemologi Dan Islamisasi Ilmu, hlm. 15
[16]Mohammad Shopan, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, hlm. 11
[17]Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, hlm. 16
[18]Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer, hlm. 42
[19]Perves Hoodbhoy, Ikhtiar Menegak Rasionalitas, hlm. 138
[20]Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, hlm. 14-15
[21]Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar, hlm. 2
[22]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 4
[23]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 4
[24]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 11
[25]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 103
[26]Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 165