Makalah Antropologi
Budaya Demonstrasi Mahasiswa
“Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UAS Pada Mata Kuliah Antropologi Semester
4”
DI SUSUN OLEH:
Ahmad Marzuki (12350007)
Dosen Pembimbing
Dendy
Sutanto, M.Si
JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
PROVINSI SUMATERA SELATAN
2014
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah,
puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, Makalah
Antropologi “Budaya Demonstrasi Mahasiswa” ini dapat kami selesaikan.
Teriring salam dan salawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah
merintis jalan menuju ridha dan maghfirah Ilahi. Beliau jua yang dapat
dijadikan suri tauladan yang baik bagi semua pengikutnya.
Dalam
kesempatan ini tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dendy
Sutanto, M.Si selaku dosen mata kuliah Antropologi serta semua pihak yang telah
memberikan saran-saran serta bimbingan kepada kami dalam membuat makalah ini.
Dalam
penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat banyak
kekurangan serta kesalahan. Maka, dengan kerendahan hati, kami mengharapkan
kritikan dan saran agar kami dapat memperbaiki dan harapan lebih baik lagi
dalam membuat sebuah makalah.
Semoga
makalah ini menepati fungsinya sesuai yang diharapkan dan barokah bagi
pembacanya, Aamiin…
Wassalam.
Palembang, Juni
2014
Penyusun Makalah
Ahmad Marzuki
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, Demos dan Cratein. Demos
berarti rakyat, dan Cratein berarti pemerintahan. Jadi, menurut bahasa
asalnya, Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat. Pemerintahan
dijalankan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam demokrasi, suara
rakyat sangat diperhitungkan dan menjadi bagian dalam pemerintahan itu sendiri.
Negara
kita, Indonesia juga menganut paham demokrasi. Rakyat sangat berperan penting
dalam pemerintahan, banyak sekali keputusan pemerintah yang berdasarkan
keinginan ataupun pendapat rakyat. Mahasiswa, dalam hal ini termasuk juga dalam
kategori rakyat tersebut. Bisa kita lihat bahwa beberapa keputusan penting
pemerintahan, diambil karena tuntutan mahasiswa yang melakukan demonstrasi.
Misalnya, turunnya mantan presiden Soeharto pada era reformasi, itu terjadi
karena mahasiswa yang menuntut agar orde baru berakhir dan diganti dengan
reformasi. Turunnya almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pun, juga terjadi
karena mahasiswa melakukan demonstrasi demi perbaikan bangsa Indonesia tercinta
ini.
Demonstrasi adalah hak demokrasi
yang dapat dilaksanakan dengan tertib, damai, dan intelek. Sebuah contoh yang
sangat bagus, yang mestinya juga ditiru oleh mereka yang gemar unjuk rasa, yang
senang turun ke jalan
Unjuk rasa atau demonstrasi (demo)
adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum.
Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau
penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan
sebagai sebuah upaya penekanan secarapolitikolehkepentingan kelompok.
Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh
kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, atau para buruh yang
tidak puas dengan perlakuan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh
kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya.
Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan
pengrusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan
menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.
Namun,
yang menjadi titik permasalahannya saat ini kadang mahasiswa melakukan unjuk
rasa dengan anarkis dan meresahkan warga disekitar tempat demo tersebut. Tidak
jarang juga ada mahasiswa yang sampai meninggal akibat bentrok dengan polisi
ataupun warga sekitar. Sampai sekarang juga demo tersebut sudah turun temurun
dari generasi ke generasi sehingga menjadi budaya yang patut dilakukan sebagai
aspirasi suara. Maka dalam pembahasan kali ini, penulis akan menjelaskan lebih
lanjut mengenai Budaya Demonstrasi Mahasiswa.
B.
Rumusan Masalah
Melihat
latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Pengertian dari Budaya Demokrasi?
2.
Bagaimana
Prinsip-prinsip Demokrasi?
3.
Bagaimana
Budaya Demonstrasi Mahasiswa?
4.
Bagaimana
Demonstrasi dalam pandangan Perspektif Sosiologi?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana pengertian budaya demokrasi.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana prinsip-prinsip demokrasi.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana budaya demonstrasi mahasiswa.
4.
Untuk
mengetahui bagaimana demonstrasi dalam pandangan perspektif sosiologi.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Budaya Demokrasi
Demokrasi
berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti
memerintah. Demokrasi adalah suatu negara yang
dipimpin atau kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Demokrasi bangkit
kembali dengan pertimbangan sebagai berikut :
a) Perasaan tidak senang dengan oligarki, pemerintah, segolongan kecil rakyat
yang senantiasa bertindak menurut kemauannya.
b) Pengaruh aliran politik dan sosial yang menghendaki persamaan.
c) Perkembangan beberapa teori yang menghendaki perlu dan baiknya demokrasi
C.F Strong berpendapat bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan pada
mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik yang ikut serta atas dasar
sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggung
jawabkan tindakan kepada mayoritas.
Sedangkan Joseph A.
Schmeter berpendapat bahwa demokrasi merupakan suatu perencanaan
institusional untuk mancapai keputusan politik ketika individu-individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara
rakyat.
Sidney Hook berpendapat bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintah ketika
keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat
dewasa.
Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl berpendapat bahwa demokrasi sebagai suatu
sistem pemerintah ketika pemerintah dimintai tanggung jawab atas
tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak
secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka
yang telah terpilih.
Budaya
demokrasi adalah kemampuan manusia yang berupa sikap dan kegiatan yang
mencerminkan nilai-nilai demokrasi seperti menghargai persamaan, kebebasan dan
peraturan.
B.
Prinsip-prinsip Demokrasi
Robert A. Dahl berpendapat
bahwa terdapat tujuh prinsip yang harus ada dalam sistem demokrasi yaitu
kontrol atas keputusan presiden, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih,
hak dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, kebebasan mengakses
informasi, dan kebebasan berserikat.
Sedangkan Franz Magnis dan Suseno
berpendapat bahwa prinsip-prinsip budaya demokrasi terdiri atas negara
hukum, pemerintah berbeda di bawah kontrol nyata masyarakat, pemilihan umum
yang bebas, prinsip mayoritas, dan adanya jaminan terdahadap hak-hak demokratis.
Masykuri Abdillah berpendapat
bahwa prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas prinsip persamaan, kebebasan, dan
pluralisme.
Sedangkan Miriam Budiardjo,
seorang pakar ilmu politik berpendapat bahwa prinsip-prinsip budaya
demokrasi sebagai berikut:
1.
Perlindungan konstitusional, dalam
arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula
prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang menjamin.
2.
Badan kehakiman yang bebas dan tidak
memihak.
3.
Pemilihan umum yang bebas.
4.
Kebebasan umum untuk menyatakan
pendapat.
5.
Kebebasan untuk
berserikat/berorganisasi dan beroprasi.
6.
Pendidikan kewarganegaraan
Beberapa
prinsip demokrasi yang berlaku secara universal:
a) Keterlibatan Warga Negara dalam Pembentukan Keputusan Politik
Dalam pembentukan
keputusan politik, rakyat atau warga negara selalu dilibatkan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dalam pelaksanaan prinsip ini, pemilihan umum
dipercaya sebagai salah satu istrumen penting guna memungkinkan berlangsungnya
suatu proses pembentukan pemerintahan yang baik (demokratis).
b) Tingkat Persamaan (Kesetaraan) di antara warga Negara
Dengan prinsip
persamaan, setiap orang dianggap sama, tanpa dibeda-bedakan dan
memperoleh akses serta kesempatan sama untuk mengembangkan diri sesuai dengan
potensinya. Pada umumnya tingkat persamaan yang dituju antara lain persamaan
politik, persamaan di hadapan hukum, persamaan kesempatan, persamaan ekonomi,
dan persamaan sosial atau persamaan hak.
c) Kebebasan atau Kemerdekaan yang Diakui dan Dipakai warga Negara
Kebebasan dan persamaan
adalah fondasi, demokrasi. Kebebasan dianggap sebagai sarana mencapai kemajuan
dengan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa adanya pembatasan dari
pengusaha. Demokrasi adalah sitem politik yang melindungi kebebasan warganya
sekaligus memberi tugas kepada pemerintah untuk menjamin kebasan tersebut. Contoh
kebebasan warga negara yang diakui oleh negara seperti berikut:
1) Kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul atau berkelompok, dan
berserikat.
2) Kebebasan yang menyangkut hak-hak asasi manusia (seperti hak politik,
ekonomi, kesetaraan di depan hukum dan pemerintah, ekspresi kebudayaan, dan dak
pribadi).
d) Supremasi Hukum
Prinsip supremasi hukum
adalah semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Penguasa maupun warga negara harus mengedepankan hukum. Artinya, penguasa dan
rakyat pemerintah mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa
kecuali. Dengan demikian, keadilan dan ketaatan terhadap hukum merupakan salah
satu syarat mendasar bagi terwujudnya masyarakat yang demokratis.
e) Pemilu Berkala
Pemilu merupakan salah
satu instrumen penting guna memungkinkan berlangsungnya suatu proses
pembentukan pemerintah yang baik (demokratis). Dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan pemilu mencerminkan adanya sistem budaya demokrasi.
C. Budaya Demonstrasi Mahasiswa
Demonstrasi
adalah sebuah hal yang tidak mungkin terjadi pada sebuah negara yang memiliki good
governance. Good governance disini saya artikan
sebagai sebuah pemerintahan yang membagi kekuasaannya secara jelas serta
masing-masing bagian melakukan tugas dan fungsinya dengan baik. Demonstrasi
sebenarnya bukanlah gejala wajar. Demonstrasi adalah sebuah gerakan ekstra- parlementer.
Gerakan ini muncul apabila ada ketidakberesan pada kinerja jajaran pemerintah
dan lembaga perwakilan rakyat tidak menjalankan fungsinya dengan baik serta
saluran-saluran kritik kepada pemerintah (media massa dan LSM) lainnya
mengalami kemacetan. Lalu demonstrasi pun akhirnya muncul sebagai gerakan
ekstra-parlementer yang ingin menyampaikan keinginan rakyat melalui cara mereka
sendiri, baik dengan berorasi, drama teatrikal, sampai membuat rusuh dan hingga
bentrok dengan aparat. Demonstrasi sebenarnya bukanlah hal yang buruk karena
itu adalah sebuah bentuk corong aspirasi masyarakat. Namun, apabila gerakan
tersebut dilakukan dengan anarki maka akan menjadi sebuah hal yang sangat
buruk, apalagi jika demonstrasi yang anarkis itu dilakukan oleh kaum intelektual.
Mengapa
mahasiswa berdemonstrasi? Jawabannya pernah diutarakan oleh almarhum Soe
Hok-gie. Soe Hok-gie adalah salah seorang pelopor demonstrasi mahasiswa
angkatan ’66 dalam rangka penyampaian Tritura dan tuntutan agar presiden saat
itu, Soekarno, turun dari tahtanya. Ketika Gie (Soe Hok-gie) ditanya mengapa
mahasiswa yang harus berdemonstrasi, dia menjawab bahwa mahasiswa sebagai kaum
intelektual tidak seharusnya berada di menara gading dan hanya mencari ilmu
saja, tapi mahasiswa juga harus bisa dan mau turun ke tengah-tengah masyarakat,
mendengarkan jeritan mereka, dan kalau perlu menjadi garda terdepan dalam
penyampaian jeritan masyarakat. Mahasiswa tidak ingin melihat masyarakat yang
harus berdemo karena jika itu terjadi maka akan tejadi chaos.
Karena itulah agar jangan sampai terjadi chaos lebih baik kaum mahasiswa
yang turun ke jalan dan menyampaikan inspirasi mereka. Demikianlah kira-kira
pemikiran seorang Gie dan pemikiran itu memang logis adanya. Jadi jangan salahkan
mahasiswa jika mereka berdemo.
Inti
dari demonstrasi dan tulisan ini sendiri adalah gerakan demonstrasi muncul
sebagai akibat dari macetnya saluran aspirasi masyarakat lain, termasuk juga
lembaga perwakilan rakyat. Dan mahasiswa adalah sebagai garda depan laskar
masyarakat, sebagai pejuang revolusi yang sesungguhnya, karena di Indonesia
sudah terbukti, demonstrasi mahasiswa bisa menumbangkan kekuasaan dua orang
tiran pada tahun 1966 dan 1998. Dan satu hal yang paling penting yaitu
hendaknya demonstrasi ditempatkan pada prioritas yang terakhir dalam usaha
penyampaian aspirasi dan kritik kepada pemerintah. Sebelum demonstrasi
dilakukan kritik bisa dilakukan melalui tulisan dan media lain. Jika itu tidak
diperhatikan, maka silakan berdemo dengan sehat dan tertib. Apabila pemerintah
sudah bebal dan sudah kebal serta tuli terhadap kritik. Maka berdemolah dengan
keras dan teriakkanlah: REVOLUSI seperti yang pendahulu
kalian lakukan dan berikan kepada negeri ini.
Sejarah
pun menggoreskan bahwa mahasiswa telah menumbangkan rezim besar melalui kekuatan
maha-nya. Perubahan demi perubahan di negeri ini diakui atau tidak sedikit
banyak dipengaruhi oleh gerakan mahasiswa. Negeri bisa langsung dibuat heboh
oleh satu tindakan mahasiswa. Salah satu tindakannya adalah demonstrasi.
Demonstrasi
sendiri adalah sebuah gerakan protes sekumpulan orang di hadapan umum yang
dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penantang kebijakan
yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula penekanan sebagai sebuah upaya
secara politik oleh kepentingan umum. Setelah rezim suharto tahun 1998,
demonstrasi menjadi marak dan telah dijadikan sebagai upaya pembebasan pendapat
di Indonesia.
Sekarang
ini, demonstrasi dirasa sebagai sebuah kegiatan yang efektif untuk menyampaikan
pendapat atau aspirasi kepada para petinggi negeri. Cara- cara formal seperti
audiensi atau jajak pendapat, mulai ditinggalkan lantaran dinilai kurang
efektif. Penyebab ketidak efektifannya adalah kegiatan formal tersebut sulit
dilakukan dan dampaknya memakan waktu lama.
Kadang
kala, kegiatan tersebut tak mendapat tanggapan lantaran tidak semua petinggi
negeri kita mau duduk bersama rakyatnya untuk tahu aspirasi dan kebutuhan
rakyatnya. Hal ini menjadi salah satu sebab kekecewaan mahasiswa terhadap
orang- orang atas negeri. Mahasiswa menganggap orang atasnya sebagai orang yang
tak mau ditegur dengan cara halus, tetapi harus dengan cara agak keras. Dan
alhasil, demonstrasi menjadi jalan pintas bagi mereka untuk menyampaikan
aspirasi rakyat.
Pada
dasarnya, demonstrasi digunakan karena mampu menarik perhatian, baik itu
perhatian dari rakyat, aparat sampai pada pejabat. Saat mahasiswa harus
melakukan kegiatan yang tidak mampu menarik perhatian tiga elemen tersebut,
tentu kegiatan yang dialakukannya menjadi kegiatan yang mentah dan tidak ada
aspirasi ataupun opini publik yang bisa dibangun.
Mahasiswa
Sebagai Agent Of Change
Mahasiswa
sama sekali tidak bisa dipisahkan dari kegiatan demonstrasi. Terlepas termasuk
ke dalam kategori apa si mahasiswa bersangkutan. Yang jelas, sebagai kaum
intelektual mahasiswa punya tugas menjadi penyambung lidah rakyat. Suara
mahasiswa adalah suara rakyat. Kalimat itu tergaung dalam dunia pergerakan
mahasiswa. Mahasiswa terdengar gaungnya karena kegiatan demonstrasinya. Tentu
saja bukan sembarang gaung tanpa dilandasi intelektualitas. Gaung tersebut yang
bisa mengguncang negeri dan melahirkan perubahan. Kita patut menghargai
pendapat orang lain dan caranya menyampaikan pendapat. Artinya kita pun patut
menghargai mahasiswa dengan dinamika kegiatan demonstrasinya.
Belakangan
ini berdasarkan pemberitaan media massa maupun elektronik memosisikan mahasiswa
pada garda paling depan dalam setiap aksi demonstrasi yang teraktualisasi dalam
sebuah gerakan massal mahasiswa yang menginginkan adanya perubahan atau
pembaharuan yang meliputi aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan
lain sebagainya atau biasa disebit demonstrasi.
Idealnya
adalah bahwa setiap gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa memang semata-mata
hanya dan untuk kepentingan rakyat dengan kata lain mahasiswa sebagai ‘pembela
rakyat’ ditengah hegemoni kekuasaan yang mengkooptasi rakyat. Mahasiswa sebagai
kaum intelektual yang sarat dengan ‘budaya ilmiah’ dan senantiasa menjadikan
‘saintifik-rasional’ sebagai ukuran setiap tindakan ternyata harus berlawanan
dengan fakta dilapangan. Ketimpangan antara ‘yang senyatanya’ dan ‘yang
seharusnya’ bermunculan tidak hanya terfragmentasi dari perbedaan ideologi
tetapi juga stigmaisasi negatif dari masyarakat terhadap mahasiswa yang notabene
adalah ‘yang diperjuangkan’.
Pencitraan
negatif ini tentu sangat beralasan dan berangkat dari fakta dilapangan yaitu
aksi anarkis mahasiswa dalam demonstrasinya di jalan, mulai dari pengrusakan
terhadap fasilitas umum, memblokir jalan, membakar ban yang tentunya sangat
merugikan masyarakat. Lalu dimanakah idealisme mahasiswa sebagai aktor
intelektual yang di gadang-gadang menjadi ‘motor perubahan bangsa ini’?
Demonstrasi
Sebagai Bagian Dari Krisis Identitas Mahasiswa
Anarkisme, tawuran, dan kekerasan-kekerasan
lainnya jelas sama sekali tidak lekat dengan nilai-nilai luhur yang tersemat
pada mahasiswa sebagai agen perubahan. Gerakan mahasiswa yang berbasis pada
kekuatan moral (moral force) yang diembannya sebagai cermin dari orang yang
berpendidikan (educated person). Menurut penulis, saat ini yang ditonjolkan
oleh mahasiswa dalam demonstrasinya lebih kepada tindakan anarkisme
dibandingkan dengan tawaran solutif yang diajukan atas sebuah ketidakadilan.
Jika mahasiswa belum mampu bersikap cerdas dalam setiap demonstrasinya dengan
masih bertindak amoral keluar dari ciri mahasiswa ideal sebenarnya, maka
mahasiswa tak ubahnya seorang preman berpendidikan.
Dengan merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan Demonstrasi sebagai bentuk pernyataan
protes yang dilakukan secara massal. Protes terhadap sebuah kondisi yang
dianggap melanggar hak-hak rakyat kemudian menggugah hati nurani mahasiswa
sebagai kaum yang dianggap memiliki kelebihan di atas rata-rata masyarakat awam
untuk mengambil peran sebagai penyambung lidah rakyat. Dalam konteks ini,
secara historis mahasiswa Indonesia pernah memberikan kontribusi bagi
kemerdekaan negeri ini.
Gerakan mahasiswa pra-kemerdekaan semisal Boedi
Oetomoe, sebuah pergerakan nasional dengan wadah perjuangan yang memiliki
struktur pengorganisasian yang dimotori oleh mahasiswa dan pemuda dari lembaga
pendidikan STOVIA, sebuah sekolah kedokteran di Jakarta pada saat itu. Pada
tahun 1908, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda juga
membentuk sebuah organisasi perhimpunan yang dinamakan Indische Vereeniging
yang merupakan pusat kegiatan mahasiswa tentang perkembangan situasi Tanah Air,
namun kemudian menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1992 yang kemudian
berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia pada tahun 1925. Berdasarkan
sejumlah masalah yang diinventarisasikan oleh pengurus Perhimpoenan Indonesia
waktu itu, muncul sikap menentang terhadap penjajah, tidak mau berdamai serta
tidak kenal kerja sama. Semangat itu terlihat dalam dasar-dasar Perhimpoenan
Indonesia, yang intinya adalah sebagai berikut:
1. Masa
depan bangsa Indonesia semata-mata tergantung pada susunan pemerintahan yang berdasarkan
kedaulatan rakyat;
2. Untuk
mencapai itu, setiap orang Indonesia berjuang sesuai kemampuan serta bakatnya,
dengan tenaga dan kekuatan sendiri;
3. Untuk
tujuan bersama itu, semua unsur atau lapisan rakyat bekerja sama
seerat-eratnya.
Saat ini, ditengah citra buruk mahasiswa di
mata masyarakat, selain belajar dari sejarah yang de facto memberikan
kontribusi berarti besar bagi bangsa, kita juga harus berani melakukan
auto-kritik dengan bersikap dewasa dalam setiap aksi dan tindakan, jika kita
sebagai mahasiswa benar-benar ingin menjadi representasi dari rakyat dan masih
ingin menyurakan penentangan terhadap ketidakadilan yang terjadi di negeri ini.
Masalah lain yang juga penting adalah perihal
idealisme mahasiswa, karena idealisme dan mahasiswa adalah bagian yang tak
seharusnya terpisahkan karenaidealisme merupakan identitas yang melekat pada
mahasiswa. Karena idealisme sangat dimungkinkan luntur manakala mahasiswa
berada dalam kubangan hegemoni kekuasaan. Berdasarkan alasan ini maka idealisme
mahasiswa harus tergambar baik dalam orasi demonstrasi secara teori maupun
dalam praktiknya. Jika selama ini ada image bahwa oposisi yang dilakukan oleh
mahasiswa terkesan acuh tak acuh terhadap pemerintahan, maka image ini harus
dirubah dengan menggerakan mahasiswa melalui demonstrasi yang mampu
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah terkait masalah politik, ekonomi
dan sebagainya lagi-lagi dan hanya untuk kepentingan rakyat tidak karena
kepentingan-kepentingan sesaat dengan kata lain idealisme mahasiswa dengan
kekuatan berbasis moral (moral force) yang menjadi tulang punggung rakyat harus
tetap menyala, terbebas dan independen.
Jika hal ini benar-benar terlaksana maka pada
gilirannya demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa-mahasiswa bukan hanya
sekedar ritual demokasi kosong belaka yang kekerasan lebih ditonjolkan daripada
‘unjuk perasaan’ terhadap ketimpangan sosial, politik, ekonomi serta kebijakan-kebijakan
tidak populis pemerintah. Hal ini tentunya hanya akan menambah ketidakpercayaan
masyarakat terhadap mahasiswa sebagai agen perubahan, alih-alih mensejahterakan
rakyat, tindakan demonstrasi bar-bar semacam ini sudah pasti menyusahkan rakyat
yang juga berarti tidak sinkronnya antara tujuan demonstrasi dengan hasil yang
dicapai dari demonstrasi itu sendiri.
Demonstrasi
Mahasiswa sebuah Gelaran Moral kaum Intelektual
Edward W. Said (1995) dalam bukunya
Representation of The Intellectual merumuskan intelektual sebagai individu yang
dikaruniai bakat untuk merepresentasikan pesan, pandangan, sikap kepada publik
yang tujuan dari aktualisasi tersebut melahirkan kebebasan untuk memotivasi dan
menggugah rasa kritis orang lain agar berani menghadapi ortodoksi, dogma, serta
tidak mudah dikooptasi kuasa tertentu, sehingga intelektual harus selalu aktif
bergerak dan berbuat dengan ketajaman nalarnya.
Dalam konteks ini, mahasiswa sebagai
representasi dari kaum intelektual berdasar pada pertimbangan-pertimbangan ilmiahnya
sudah seharusnya mampu mengelaborasi antara teori dan praktik. Demonstrasi
sebagai sebuah gelaran demokrasi hanya akan menjadi ‘garang’ dan ‘menyeramkan’
manakala mahasiswa sebagai kaum intelektual belum mampu memfungsikan
intelektualitas yang dimilikinya secara maksimal, karena intelektualisme yang
hampa dari agenda humanisasi adalah sebuah pengkhianatan terhadap nurani
kemanusiaan.
Kekuasaan yang menghegemoni rakyat
terimplementasi dalam bentuk-bentuk ketidakadilan, penindasan serta bergulirnya
kebijakan-kebijakan tidak populis adalah sangat wajar jika membuat mahasiswa
‘marah’, kooptasi yang dilakukan pemerintah sama halnya menabuh ‘genderang
perang’ kepada mahasiswa. Namun perlu diingat demonstrasi sebagai salah satu
saluran dialog antara rakyat dan pemerintah tidak harus diselesaikan secara
anarki sebagai konsekuensi logis dari pemilik ‘nurani intelektual’ yang
dimiliki mahasiswa terkandung nilai-nilai ideologis keutuhan kemanusiaan dan
keadilan universal yang selama ini disuarakan oleh mahasiswa. Paradoks jika
mahasiswa sebagai kaum intelektual melakukan demonstrasi anarkis atau ‘tidak
bernurani intelektual’ yang berarti tidak ramah terhadap tatanan sosial.
D. Demonstrasi dalam pandangan perspektif
sosiologi
1.
Perspektif Struktural Fungsional
Ciri
pokok perspektif ini adalah gagasan tentang kebutuhan masyarakat (societal
needs). Masyarakat sangat serupa dengan organisme simbolik biologis, karena
mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar masyarakat dapat
melangsungkan keberadaannya atau setidaknya berfungsi dengan baik. Ciri dasar
kehidupan sosial , struktur sosial muncul untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat dan merespon terhadap permintaan masyarakat sebagai suatu sistem
sosial. Asumsinya adalah ciri-ciri sosial yang ada memberikan kontribusi yang
penting dalam mempertahankan hidup dan kesejahteraan seluruh masyarakat atau
subsistem utama dari masyarakat tersebut.
Anggapan
dasar perspektif struktural fungsional yaitu perubahan-perubahan dalam sistem
sosial yang bersifat gradual dan melalui penyesuaian, serta tidak bersifat
revolusioner. Perubahan terjadi melalui tiga macam kemungkinan, antara lain :
1)
Penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan dari luar.
2)
Pertumbuhan
melalui proses diferensia struktual dan fungsionalis.
3)
Penemuan
baru oleh anggota masyarakat.
Kenyataan
yang diabaikan dalam pendekatan struktual fungsional:
1.
Setiap
struktur sosial mengandung konflik dan kontradiksi yang bersifat internal dan
menjadi penyebab perubahan.
2.
Reaksi
suatu sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar tidak selalu
bersifat tampak.
3.
Suatu
sistem sosial dalam waktu yang panjang dapat mengalami konflik sosial.
4.
Perubahan
sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian, tapi juga
terjadi secara revolusioner.
Analisis Kasus:
Bila
dilihat dari paradigma Struktural Fungsional, kasus budaya demo yang terjadi di
lingkungan kita merupakan salah satu contohnya. Dimana dalam teori struktural
fungsional menekankan pada keteraturan dan mengabaikan konflik serta perubahan-perubahan
dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem
sosial, turut menjalin struktur
fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur
itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.
Pada
awalmya, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa ini bertujuan sebagai pemersatu
suara agar pendapatnya tersampaikan kepada yang dituju. Seiring waktu,
demonstrasi ini bukan hanya dalam pendidikan, namun juga dalam ekonomi, politik
dan lain sebagainya. Hal ini menampakkan jelas bahwa terjadi perubahan
terstruktur yang tadinya demonstrasi hanya di bidang pendidikan saja, sekarang
sudah mencapai semua aspek kehidupan.
Jika
dilihat dari sudut pandang perubahan fungsional, kasus demonstrasi yang
dilakukan oleh mahasiswa juga berubah fungsi. Dari sekedar apresiasi mahasiswa
terhadap aspek kehidupan, kini banyak disalah gunakan oleh
provokator-provokator tertentu untuk mengalihkan tujuan demonstrasi yang baik
menjadi anarkis.
2.
Perspektif Interaksionis Simbolik
Perspektif
ini mengemukakan bahwa
orang-orang berinteraksi terutama dengan menggunakan simbol-simbol yang
mencakup tanda, isyarat, dan yang paling penting, melalui kata-kata secara
tertulis dan lisan. Perspektif interaksionis simbolik memusatkan
perhatiannya pada arti-arti apa yang ditemukan orang pada prilaku orang lain,
bagaimana arti ini diturunkan dan bagaimana orang lain menanggapinya.
Analisis
Kasus:
Menurut perspektif interaksionis simbolik ini, demontrasi yang
dilakukan mahasiswa pasti menggunakan atribut-atribut tertentu dalam melaksakan
aksinya seperti Spanduk, bendera dan lain-lain. Atribut-atribut yang mereka
kenankan ini sebenarnya merupakan simbol bahwa mereka ingin didengarkan sesuai
dengan keadaan mereka. Bahkan ketika ada demonstrasi, sering terjadi aksi jahit
bibir, hal ini juga merupakan bentuk pengungkapan dengan simbol yang dilakukan
karena dengan perkataan mungkin pendapat mereka kurang didengarkan.
3.
Perspektif Konflik
Teori
konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi
melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi
akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan
kondisi semula.
Teori
konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam
masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat
perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun
pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada
negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Analisis Kasus:
Dalam
kasus demonstrasi banyak terjadi konflik-konflik, baik antara masyarakat dengan
pemerintah, mahasiswa dengan aparat dan lain-lain. Contoh, fasilitas yang
didapatkan mahasiswa tidak sesuai dengan harapan, hal ini menimbulkan konflik
antara pihak kampus dengan mahasiswa tersebut. Ketika pihak kampus tidak
bergerak untuk memperbaiki fasilitas yang ada, maka muncullah demo yang
dilakukan mahasiswa tadi untuk menuntut hak tersebut. Namun, hal ini bisa
dibendung apabila pihak kampus sudah bernegosiasi dengan mahasiswa mengenai
perubahan-perubahan yang akan dilakukan oleh pihak kampus tersebut kedepannya.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Indonesia
merupakan negara demokrasi. Bentuk-bentuk demokrasi ini seperti Pemilu dan
sebagainya. Sebagai negara yang berbudaya demokrasi, Indonesia harus mencerminkan
nilai-nilai demokrasi seperti menghargai persamaan, kebebasan dan peraturan.
ketika nilai-nilai demokrasi tidak terpenuhi, maka muncullah tindakan
demonstrasi yang menuntut hal tersebut. Dimana demonstrasi tersebut paling
banyak terjadi di kalangan mahasiswa.
Namun,
permasalahan demonstrasi oleh mahasiswa ini bisa diatasi dengan menganalisa
mengapa melakukan hal tersebut dengan menggunakan perspektif-perspektif
sosiologi misalnya struktural fungsional, interaksionis simbolik, teori
konflik. Dan diharapkan bisa mengambil jalan tengah setelah mengetahui pokok permasalahan
hal tersebut.
demonstrasi
bertujuan untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan yang tidak sesuai atau
sudah merugikan rakyat Indonesia. Demo yang dilakukan mahasiswa harus damai dan
tidak anarkis agar tidak terjadi perkelahian antara mahasiswa dan warga
sekitar. Supaya kepentingan umum tidak terganggu oleh kegiatan demonstrasi.
Mahasiswa harus bijaksana dan dewasa dalam berdemonstrasi agar aspirasi itu
sampai ke pihak pemerintah.
B.
Saran
1)
Pemerintah harus mendengarkan semua
keluhan dan aspirasi mahasiswa yang mewakili rakyat Indonesia.
2)
Pihak berwajib harus menangani
demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dengan benar. Tidak anarkis dan tidak
dengan kekerasan yang akan menyulut kemarahan mahasiswa.
3)
Pemerintahan harus bersih dari
korupsi.
4)
Para demonstran harus mengikuti
peraturan demonstrasi yang sudah diberitahu oleh koordinator lapangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz, Imam M.,et,all (ed). 1993. Agama, Demokrasi dan Keadilan cet ke-1., Jakarta. PT. Gramedia
Pustaka Utama..
George dan Douglas J. Goodman. 2008.
Teori Sosiologi: Dari Teori Klasik Sampai Perkembangan Teori Mutakhir Teori
Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
P. J. Bouman. 1976. Sosiologi
“Pengertian-pengertian Dan Masalah-masalah”. Yogyakarta: Penerbit Kansius.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: RayaGrafindo Persada.
Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi (ed). 1974. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sztoanka, Piotr. 2005. Sosiologi
Perubahan Sosial (alih bahasa oleh Alimandan). Jakarta: Prenada Media.
Ubaidillah, A.,et.all (ed). 2003. Demokrasi, Ham Dan Masyarakat Madani.
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar