Minggu, 21 September 2014

Pendidikan Kewarganegaraan "Hubungan Antara Agama Dan Negara"

HUBUNGAN ANTARA AGAMA DAN NEGARA

DI SUSUN OLEH :

NAMA                        : Ahmad Marzuki
NIM                            : 12350007
KELAS                       : PI 1 (Satu)
MATA KULIAH         : Pendidikan Kewarganegaraan




JURUSAN PSIKOLOGI ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG


A.      Pendahuluan
Membicarakan masalah hubungan Agama dan Negara adalah sesuatu yang menarik, mengapa? Kita tahu Agama dan Negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya. Sehingga, peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Sebaliknya, Negara (pemerintah) sangat menentukan terhadap perkembangan suatu Agama di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang berbau keagamaan sangat mempengaruhi terhadap terciptanya masyarakat madani (civil society) seperti yang menjadi cita-cita kedua belah pihak. Bila kebijakan Negara cenderung berpihak kepada salah satu agama tertentu, tak ayal jika Negara atau keadaan Negara tidak akan kondusif, timbul konflik yang mengarah ke unsur SARA.
Norma-norma agama dipandang sebagai hukum yang efektif untuk membentuk tatanan masyarakat yang beradab karena keberadaan agama bagi setiap individu sangat vital. Hal ini dikarenakan agama mengajarkan atau menghubungkan makhluk dengan kholiknya. Selain itu dalam agama terdapat berita gembira, ancaman, janji dan sebagainya yang ditujukan pada pemeluknya. Hal inilah sebetulnya yang diinginkan setiap Negara terhadap keadaan masyarakat yakni masyarakat yang berketuhanan atau boleh dikatakan sebagai manusia yang “pancasilais”.
Hubungan antara Agama Islam dan Negara selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan: pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, di tempat dan waktu, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut. Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coa dan belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang sering menimbulkan sikap arogan dari pemerintah. Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan hukum tidak hanya pemerintah melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang kami sebut hubungan agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju jika masalah agama di bawa ke wilayah Negara. Bagi mereka, agama adalah urusan pribadi antara dia dengan DIA. Atau mereka ingin menjaga bubungan suci dan sarral ini, tidak dicampuri urusan dunia yang kotor. Apakah sikap mereka bisa digolongkan liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan kita harus menilai “liberal” dari kacamata budaya bangsa Indonesia.
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan agama dan Indonesia akan masih menjadi masalah. Menurutnya ada anggapan umum bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan) batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas seperti Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.

B. Pembahasan

1.     Mengapa Manusia Perlu Beragama?
Seandainya manusia tidak beragama, apa yang akan terjadi? Tanpa agama, apakah manusia dapat mengetahui norma-norma universal? Tanpa agama, dapatkah manusia mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan di alam supra natural?
Menurut kodratnya, manusia dalam hidupnya selalu mengakui adanya kekuatan yang maha dahsyat di luar dirinya. Manusia selalu merasa merasa bahwa di luar dirinya terdapat suatu kekuatan yang tidak mungkin ditandingi oleh kekuatan manusia dan alam sekitarnya. Pengakuan seperti ini, biasa disebut dengan beragama.
Manusia beragama karena mereka memerlukan sesuatu dari agama itu. Manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat. Dengan agama, manusia juga bisa mendapatkan nilai-nilai moral yang universal, dan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan akalnya semata.

2.     Mengapa Manusia Perlu Bernegara?
Bayangkan, bila suatu kelompok masyarakat tidak mempunyai negara, apa yang akan terjadi? Bagaimana bila tidak ada wilayah, tidak ada pemerintahan, tidak ada kepala negara? Apakah dalam kondisi seperti itu, masyarakat tadi dapat hidup dengan teratur? Dapatkah mereka menjalankan aturan bersama? Dapatkah mereka melakukan aktivitas hidup dengan tertib?
Pada mulanya, manusia hidup sendiri-sendiri. Selanjutnya, karena tidak dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan teman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu. Oleh karena itu, mereka kemudian bergabung dengan manusia-manusia yang lain. Karena jumlah mereka semakin banyak, maka diperlukan pemimpin dan aturan-aturan yang disepakati.
Mereka selanjutnya juga memerlukan fasilitas-fasilitas untuk memudahkan jalanya kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, mereka membuat aturan-aturan untuk mereka sepakati bersama dalam kehidupan.
Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat memerlukan seseorang untuk disegani, yang mempunyai otoritas untuk melakukan tindakan tertentu bila terjadi sesuatu atas mereka. Orang seperti ini diperlukan sebagai penengah bila terjadikonflik diantara mereka. Dia pula selanjutnya yang menjadi pemisah sekaligus hakim dalam persoalan-persoalan yang menyangkut orang banyak. Orang yang berwatak seperti inilah yang kemudian mereka angkat menjadi pemimpin atau raja atau kepala negera.

3.     Agama Dan Negara
Agama dan Negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara merupakan bagian dari dogma agama. Pada hakikatnya, negara sendiri secara umum diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagii penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara pula sehingga negara sebagai menifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri negara itu sendiri (Kaelani, 1999:91-93)

4.     Relasi Agama Dan Negara
Membincang Agama dan Negara adalah sebuah pembicaraan yang cenderung mengarah pada ruang lingkup membangun persepsi. Ini bisa kita lihat bagaimana penafsiran agama dan negara cenderung pada porsi bagaimana negara dan bagaimana agama menjadi menarik untuk diketengahkan sebagai dua perbedaan. Saya melihat selama ini orang mendefinisikannya baik peran dan fungsi hubungan antara agama dan negara cenderung melihat pada sisi politis. Karena itu berbagai kepentingan sosial-politik sangat mewarnai penggambaran konflik kepentingan antara yang menghendaki agama sebagai dasar negara dengan kalangan politik modern yang menolaknya.
Tapi bukan bagimana kita mempermasalahkan apakah mungkin antara agama dapat berdampingan sesuai dengan apa yang kita bangun dan persepsikan; adil, sejahtera dan berujung pada perdamaian. Maka menjadi sesuatu yang krusial bila kita lihat sebab dan akibat dari konflik yang ada baik itu mempertahankan bangunan keyakinan beragama dan bernegara. Bahkan acapkali darah menjadi hiasannya.
Hakikat Agama adalah realitas yang selalu melingkupi manusia. Muncul dari berbagai dimensi sejarah kehidupan. Karena itu tidak muda mendefinisikannya. Dapat dipastikan akan selalu diwarnai oleh latar belakang pemikiran yang digelutinya. Termasuk spesifikasi para ahli dalam ranah paradigma kajian yang mengkhususkan pada agama tertentu.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta yang tersusun dari kata ´a´ yang berati tidak dan ‘gam’ yang berati pergi. Dalam bentuk harfiah yang terpadu kata agama berati tidak pergi, tetap ditempat, langgeng abadi yang diwariskan terus menerus dari satu generasi kepada generasi lainnya. Secara umum kata agama berarti tidak kacau yang secara analitis kritis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata: ‘a´ berati tidak dan ‘gama´ berarti kacau. Jadi kehidupan orang yang memeluk agama atau beragama akan mengamalkan ajaran-ajaranya dengan sungguh sungguh tidak akan mengalami kekacauan atau split personality. Bahkan kalau kita rujuk dari berbagai referensi agama bisa menjadi definisi yang multi interpretasi.
Termasuk disetiap daerah dan pemeluknya cenderung terikat pada khasanah maritimnya. Sehingga kita tidak terjebak pada ranah penafsiran linier. Bahkan agama menut bahasa arab mempunyai banyak arti sesuai dengan konteksnya, secara terminologis memiliki arti berbeda-beda bahkan setiap ahli mengemukakan sesuai fokus keilmuannya. Tapi dari beberapa konsepsi yang ada saya melihat agama merupakan satu syistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas sesuatu yang mutlak diluar manusia. Agama juga sistem ritus manusia kepada yang dianggapnya mutlak. Juga sistem norma yang mengatur hubungan antara manusia dan sesama manusia, serta hubungan antara manusia dan alam lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang dimaksud.
                Hakikat negara menjadi suatu hal yang penting ketika kita hidup dalam wilayah kekuasaan. Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Bahkan negara merupakan pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada. Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Para sosiologi teoetisi politik Islam merumuskan beberapa teori tentang hubungan Agama dan Negara. Teori tersebut secara garis besar dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran :

a.  Paradigma Intergralistik

Dalam paradigma intergralistik, agama dan negara menyatu (intergreted). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Karenanya, menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar "kedaulatan Illahi" (divine soveregnty), karena pendukung paradigma ini menyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di Tangan Tuhan.

b.  Paradigma Simbiotik

Agama dan negara, menurut paradigma ini, berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.

c. Paradigma Sekularistik                                           

Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara.

Menurut al-Ashmawy, pemisahan politik dari agama adalah hal yang penting. Politik harus dipraktikkan tanpa campur tangan agama. Terlebih lagi hubungan yang layak antara individu dengan negara adalah hubungan kewarganegaraan, bukan hubungan keagamaan.

Menurut Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) ada tiga macam responsi dalam hubungan antara Islam dengan negara, yaitu responsi integratif, responsi fakultatif dan responsi konfrontatif. Dalam responsi integratif, Islam sama sekali menghilangkan kedudukan formalnya dan sama sekali tidak menghubungkan ajaran agama dengan kenegaraan. Sedangkan responsi fakultatif, jika kekuatan mereka cukup besar di parlemen, kaum muslimin atau gerakan Islam, akan berusaha membuat peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan responsi konfrontatif adalah sejak awal menolak kehadiran hal-hal yang dianggap "tidak Islami".

5.     Meredefinisi Hubungan Agama Dan Negara
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik.
Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan “wisdom” yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. “Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan” (QS: Al Baqarah/176).
Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama berabad-abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu, kelompok yang menerima ber-argumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik.

6.     Hubungan Islam Dan Negara Di Indonesia
Masalah hubungan islam dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, karena tidak saja Indonesia merupakan negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan negara di Indonesia, secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistic dan hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan antagonistic merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sedangkan paham akomodatif, lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecendrungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik (M. Imam Aziz et.al, 1993: 105). Abdul Aziz Thaba menambahkan agama dan negara yang bersifat respirokal-kritis, yakni awal dimulainya penurunan “tensi” ketegangan antara agama dan negara.

7.     Hubungan  Agama Dan Negara Yang Bersifat Antagonistik
Eksitensi Islam politik (political islam) pada masa kemerdekaan dan sampai pada pasca revolusi pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis politik islam gagal untuk menjadikan islam sebagai ideology atau agama negara (pada 1945 dan decade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik islam sering dicurigai sebagai anti ideology negara pancasila (Bahtiar Effendy, 2001: 4).
Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecendrngan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. Antara lain karena alasan-alasan seperti ini, negara memberlakukan kebijakan the politics of containment agar wacana politik Islam yang formalistik, legalistik dan simbolistik itu tidak berkembang lebih lanjut.
Setelah pemerintahan Orde Baru memantapkan kekuasaanya, terjadi kontrol yang berlebihan yang diterapkan oleh Orde Baru terhadap kekuatan politik Islam, terutama pada kelompok radikal yang dikhawatirkan semakin militan dan menandingi eksistensi negara.
Realitas empirik inilah yang kemudian menjelaskan bahwa hubungan agama dengan negara pada masa ini dikenal dengan antagonistik,dimana negara betul-betul mencurigai islam sebagai kwkuatan yang potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideology dalam menjalankan pemerintah.

8.  Hubungan Agama Dan Negara Yang Bersifat Akomodatif
Gejala menurunya ketegangan antara islam dan negara mulai terlihat pada pertengahan tahun 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya peluang umat islam dalam mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan tersebut berspektrum luas, ada yang bersifat struktual, legislative, infrastruktual dan cultural (Bahtiar Effendy, 2001: 35).
Kecendrungan akomodasi negara terhadap islam juga- menurut Affan Gaffar- ditengari dengan adanya kebijakan pemerintah dalam politik umat islam sendiri (M. Imam Aziz et.el, 1993: 105). Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang potensial, yang oleh karnanya negara lebih memilih akomodasi terhadap islam, karena jika negara menepatkan islam sebagai outsider negara, maka konflik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas terhadap proses pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Thaba, munculnya sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh adanya kecendrungan bahwa umat islam Indonesia dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal pancasila. Selain itu, munculnya kebijakan negara terhadap islam juga menjadi bagian yang penting dalam memahami hubungan agama dan negara di masa awal 1980-an, misalnya pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan Agama, munculnya ICMI serta munculnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang secara massif membangun ratusan masjid di hampir seluruh Indonesia.

9.     Hubungan Islam Dan Negara Pada Era Reformasi 
Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 menyebabkan perubahan drastis dalam bernagai aspek kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan drastis yang menonjol dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya kekuasaan represif dan bubarnya sistem bureaucratic polity pemerintah dipegang segelintir orang berubah menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.
Perubahan birokrasi ternyata berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap semua aspek kehidupan bernegara termasuk kebijakan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Di saat orde baru berkuasa, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya sebatas retorika belaka. Bahkan pemerintah orde baru cenderung berperilaku sebagai rezim praetorian yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal semacam keluarga berencana.
Karena begitu ketatnya kontrol Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang terbukti saat reformasi. kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak bangsa yang merasa terkekang sehingga pasca reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi massa (baik politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.
Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk memperjuangkan ajaran agamanya agar setidaknya menjadi sumber hukum formal dalam kehidupan bernegara. Perjuangan ini lebih dikenal dengan perjuangan jalur strukturalis, yang mana di era orde baru pintu ini tertutup rapat dan pemerintah hanya membuka pintu kulturalis. Pernyataan selanjutnya adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk memasukkan syariat ke dalam hukum Negara ini?
Dari sudut kuantitas, umat Islam merupakan mayoritas sehingga sudah sewajarnya jika pemerintah selalu memperhatikan kepentingan umat Islam dan mengakomodasikan sebanyak mungkin aspirasi Islam. Dengan kata lain, pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan programnya harus lebih memihak kepada Islam. Persoalan yang timbul adalah bagaimana dengan nasib umat minoritas? Keadaan mereka sebenarnya dalam posisi tidak aman. Mereka belum sepenuhnya percaya pada iktikad baik kelompok mayoritas yang berjanji akan melindungi eksistensi mereka.
Selain dilihat dari sudut kuantitas umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat Islam itu sendiri yakni Al-Qu’ran dan As-Sunah. Agama Islam tidal pernah membedakan persoalan individu dengan persolan masyarakat, urusan dunia yang profan dan urusan akhirat yang trasendetal.
Dunia dan akhirat adalah dunia yang saling menjalin, seperti yang tersirat dalam ajaran Islam bahwa “dunia adalah ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang sebagai “ladang” sudah barang tentu keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-Nya. Agar kelak memberikan bekal yang baik di alam transenden. Konsekuensinya seluruh aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut” dengan aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu memiliki tujuan-tujuan agama dan sekaligus mengabdi pada lestarinya nilai-nilai agama. Lebih jauh maka seluruh aktivitas muslim selalu diupayakan selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-Qu’ran dan As-Sunah.
Semuanya itu perlu pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam bentuk Negara, mengapa harus negara? Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus wilayah yang membawahi rakyat. Dengan demikian harapan yang muncul adalah masyarakat bisa taat pada hukum Islam karena sudah ada institusi legal yang bisa menuntut sangsi bila hukum tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah bagi Islam tujuan bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan social.

C. Daftar Pustaka

1.     Aziz, Imam M.,et,all (ed) Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993, cet.ke-1.
2.     Ubaidillah, A.,et.all (ed) Demokrasi, Ham Dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003
3.     Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001, cet.ke-1.
4.     Kaelani, Pendidikan Pancasila, Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar