A.
Sejarah
Raymond Bernard Cattell dilahirkan di Inggris tanggal
20 Maret 1905 dan dibesarkan di sebuah kota di tepi pantai bernama Devonshire.
Cattell adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Masa kecilnya dihabiskan di
luar rumah, berlayar, berenang, menelusuri gua, dan kegiatan-kegiatan lain yang
menunjukkan kecintaannya akan laut. Ketika Cattel berusia 9 tahun, di Inggris
sedang terjadi Perang Dunia I. Rumah besar di dekat rumahnya diubah menjadi
Rumah Sakit, dan Cattell melihat banyak kereta muatan berisi tentara-tentara
yang terluka kembali dari medan perang. Pengalaman itu membuatnya menjadi lebih
sadar betapa singkatnya hidup seseorang dan kebutuhan untuk melengkapinya
selama masih bisa.
Ketika usianya beranjak 16 tahun, ia mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di University of London, jurusan
fisika dan kimia. Ia lulus tiga tahun kemudian dengan menyandang gelas B.Sc.
Namun ia menyadari, kemampuannya di bidang sains ternyata tidak membantunya
dalam bersosialisasi hingga ia memutuskan untuk mempelajari human-mind,
melalui ilmu psikologi.
Setelah ia mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1929, ia
bekerja sama dengan Charles Spearman dan mengembangkan teknik analisis faktor.
Ia juga menjadi dosen di Exeter University dan membangun sebuah klinik
psikologi di Leicester pada tahun 1932.
Pada tahun 1937, Edward L. Thorndike mengundang
Cattell untuk membantu penelitiannya di Columbia University di New York. Tahun
berikutnya, Cattell menjadi Professor Psikologi di Clark University di
Worcester, Massachussets dan pada tahun 1941 ia pindah ke Harvard University.
Pada tahun 1945, ia pindah ke University of Illinois sebagai seorang Professor
penelitian disana.
Setelah pensiun dari University of Illinois pada tahun
1973, ia membangun Institute for Research on Morality and Adjusment in
Boulder di Colorado. Pada yahun 1978, ia pindah ke Hawaii dan mengajar di
University of Hawaii School of Professional Psychology. Pada tangga 2 Februari
1998, Cattell wafat di rumahnya, di Honolulu, Hawaii.
B.
Teori
Cattell
berpendapat bahwa inteligensi atau general (g) intelligence
terdiri dari dua faktor, yaitu fluid intelligence (gf) yang merupakan
faktor bawaan biologis dan crystallized intelligence (gc) yang
merefleksikan adanya pengaruh pengalaman, pendidikan dan kebudayaan dalam diri
seseorang.
Crystallized
intelligence (gc) dapat
merupakan produk dari pendidikan dan pengalaman seseorang dalam interaksinya
dengan fluid intelligence (gf). Hal ini membuat crystallized
intelligence (gc) pada umumnya akan berkembang sesuai dengan pertambahan
usia serta pengalaman seseorang. Dengan kata lain, tugas-tugas kognitif dimana
keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan telah mengkristal akibat dari
pengalaman sebelumnya, seperti kekayaan kosa kata, pengetahuan, kebiasaan
penalaran, dan semacamnya, semua akan meningkatkan inteligensi seseorang
tersebut. Pada umumnya,bila kita mengatakan inteligensi sebagai kemampuan umum
dalam menyelesaikan masalah maka itu berarti crystallized intelligence (gc).
Pada
sisi lain, fluid intelligence (gf) lebih merupakan kemampuan bawaan yang
diperoleh sejak kelahiran dan lepas dari pengaruh pendidikan dan pengalaman
seperti kapasitas seseorang untuk berpikir secara logis dan menyelesaikan
masalah dalam situasi yang baru, dan mandiri dalam mengumpulkan pengetahuan
yang dibutuhkan. Termasuk kemampuan untuk menganalisis
permasalahan-permasalahan baru, mengidentifikasi pola-pola dan
hubungan-hubungan antar masalah, serta membuat perhitungan secara logis.
Termasuk didalam fluid intelligence (gf) yaitu kemampuan untuk
menggunakan gaya berfikir deduktif maupun induktif.
Fluid
intelligence (gf) dapat
dipandang sebagai faktor yang tak terbentuk, yang mengalir kedalam berbagai
variasi kemampuan intelektual. Fluid intelligence (gf) sangat penting
artinya guna keberhasilan melakukan tugas-tugas yang menuntut kemampuan
adaptasi atau penyesuaian pada situasi-situasi baru dimana crystallized
intelligence (gc) tidak begitu berperan.
Fluid
intelligence (gf) cendrung
tidak berubah setelah usia 14 tahun atau 15 tahun, sedangkan crystallized
intelligence (gc) masih dapat terus berkembang sampai usia 30 – 40 tahunan,
bahkan lebih. Hal ini dapat dimaklumi karena perkembangan crystallized
intelligence (gc) memang banyak tergantung pada bertambahnya pengalaman dan
pengetahuan sehingga peningkatan usia yang berarti peningkatan pengalaman akan
terus berpengaruh terhadap perkembangan crystallized intelligence (gc).
Meskipun
berbeda, akan tetapi fluid intelligence (gf) dan crystallized
intelligence (gc) dapat tampak serupa. Pada umumnya, fluid intelligence (gf)
dan crystallized intelligence (gc) menunjukkan korelasi yang tinggi satu
sama lain. Misalnya, kita dapat menganggap perbedaan ini ada dalam kemampuan
kita untuk belajar, bernalar dan memperoleh informasi atau pengetahuan baru
itulah yang dimaksud fluid intelligence (gf) sedangkan mempresentasikan
pemahaman dan pengetahuan yang telah kita peroleh itulah yang dimaksud crystallized
intelligence (gc).
Dari
pandangannya mengenai inteligensi, Cattell juga mengembangkan tes inteligensi
yang disebut Culture Fair Intelligence Test, atau disingkat CFIT.
Cattell menyebutkan bahwa CFIT terdiri dari tiga jenis tes atau skala, yaitu
skala 1, skala 2, dan skala 3. Skala 1 dipergunakan untuk mengukur inteligensi
kecerdasan anak-anak berumur empat sampai dengan delapan tahun dan orang-orang
yang lebih tua namun memiliki kesulitan belajar. Skala 2 dipergunakan untuk
mengukur inteligensi anak-anak yang berusia delapan sampai empatbelas tahun dan
orang dewasa yang memiliki kecerdasan normal. Skala 3 dipergunakan untuk
mengukur inteligensi orang berusia empatbelas tahun keatas dan orang dewasa
yang memiliki taraf kecerdasan superior. Skala CFIT 2 dan sala CFIT 3 memiliki
bentuk pararelnya, yaitu form A dan form B. Hal ini membuat CFIT
2 terdiri dari CFIT 2A dan 2B, sedangkan skala CFIT 3 terdiri dari CFIT 3A dan
3B.
CFIT
disebut sebagai tes yang culture fair atau adil budaya, karena CFIT
relatif bebas dari pengaruh tingkat pendidikan dan budaya dari testee.
Hal ini membuat CFIT relatif lebih mudah digunakan di berbagai Negara yang
memiliki budaya berbeda-beda tanpa harus melakukan adaptasi budaya terlebih
dahulu. Kondisi ini menjadi kelebihan yang dimiliki oleh CFIT. Kelebihan
tersebut tidak dimiliki oleh tes inteligensi yang dikemukakan oleh Wechsler.
C.
Kritik
Teori
yang dikemukakan oleh Cattell ini memiliki beberapa kelemahan seperti:
1)
Cattell
beranggapan fluid intelligence (gf) itu dapat diukur. Hal ini yang
membuat pendapatnya berbeda dengan rekannya Donald Olding Hebb yang beranggapan
bahwa fluid intelligence (gf) itu tidak dapat diukur.
Sampai
saat ini belum ditemukan dasar yang berhubungan jelas dengan inteligensi,
karena sukar sekali memisahkan hasil belajar dan budaya dari struktur biologis
yang diduga mempengaruhinya.
daftar pustaka?
BalasHapusnice kak ijin share
BalasHapuscara daftar alfagift